Dalam karya auotobiografinya yang berjudul “Les Mots”
ini, Sartre menceritakan pengalaman hidupnya sejak masih masa anak – anak yakni
sekitar tahun 1912 di Paris. Pada
masa kecilnya, Sartre hidup dengan ibunya, Anne-Marie, dan kakeknya yang
bernama Karl Schweitzer. Sedangkan ayahnya yang seorang perwira angkatan laut
telah meninggal saat ia masih kecil. Dalam autobiografinya tersebut, Sartre
mengenang kakeknya sebagai “seorang
lelaki tampan dengan jenggot putih menjuntai, yang selalu menunggu kesempatan
berikutnya untuk unjuk kekuasaan ... Dia tampak sangat mirip dengan “Allah Sang
Bapa” dengan pembawaannya itu. Dalam buku 90 menit bersama Sartre karya
Paul Strathern dikemukakan bahwa kakek Sartre adalah sebuah figur patriarkal
khas Prancis pada era tersebut yang kata – katanya berlaku sebagai hukum bagi
para penghuni rumah lainnya yang semuanya wanita. Karakter semacam ini pastilah
merupakan suatu superego yang mempengaruhi Sartre, akan tetapi Sartre tak
bersedia menerima kenyataan bahwa kakeknya memang mempunyai peran psikologis
itu dalam dirinya.
Masih dalam cuplikan buku tersebut, Paul Strathern menjelaskan bahwa Sartre muda dan ibunya sama
– sama diperlakukan sebagai anak – anak di rumah sang kakek. Hal ini membuat
Sartre lebih memperlakukan Anne-Marie sebagai kakaknya yang paling akrab
ketimbang sebagai ibu yang menjadi kebutuhan hakiki di sepanjang hidupnya. Sartre
memiliki masa kecil yang bahagia, bahkan ia membuat deklarasi, “Aku adalah seorang jenius.” Tidak ada
yang menentang kata – kata tersebut, kakeknya justru merengkuhnya lalu menyebut
jenius kecil itu sebagai “Harta karun
kecilku!” Namun demikian, dengan
“ketidakjelasannya” yang khas, belakangan hari Sartre menyatakan, “Aku membenci masa kecilku beserta segala
sesuatu yang berasal dari sana.”
Dengan gambaran sekilas mengenai cerita masa kecil Sartre
tersebut, cuplikan autobiografi ini dapat diulas dengan pendekatan psikologis.
Hal ini dikarenakan cerita dalam Les Mots merupakan refleksi masa lalu Sartre
yang sarat akan nilai – nilai psikologis yang nantinya akan sangat mempengaruhi
cara berpikir serta cara hidupnya sebagai seorang filsuf yang menjunjung
eksistensialisme.
Dalam cuplikan karya “les Mots” ini, keadaan tersebut
digambarkan pada saat Sartre dan ibunya bingung untuk memutuskan pertunjukan
apa yang akan mereka saksikan, antara Le Châtelet, la Maison Électrique dan Le
Musée Grévin. Hingga kemudian sang kakek bertanya akan pergi ke mana mereka.
Tampak keragu-raguan sang ibu dalam menjawab pertanyaan ayahnya bahwa mereka
akan pergi ke bioskop namun segera disambut oleh ekspresi tidak suka oleh sang
kakek, hingga kemudian Anne-Marie menambahkan bahwa mereka akan pergi ke
bioskop Pantheon yang jaraknya dekat. Dari fragmen tersebut tampak bahwa
pengaruh kakek sangat kuat dalam memberikan “pengekangan” pada keluarganya. Hal
tersebut diperjelas dengan tindakan sang kakek saat bercerita kepada Monsieur
Simonnot tentang anak perempuannya yang mengajak cucunya ke bioskop. Seakan
– akan hal tersebut tabu untuk dilakukan. Namun demikian, reaksi Monsieur
Simonnot di luar dugaan. Ia menganggap hal tersebut adalah suatu kewajaran
karena istrinya pun sering mengajak anaknya ke bioskop.
Dari
keadaan yang seperti itu, Sartre remaja mulai banyak membaca buku – buku yang
kemudian mengantarkannya menjadi salah satu filsuf besar Prancis. Membicarakan
mengenai Jean-Paul Sartre tidak dapat terlepas dari sebuah tema tentang eksistensialisme. Eksistensialisme sendiri
adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang
bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam
mana yang benar dan mana yang tidak benar. Keadaan psikologis dalam keluarga
dan juga banyaknya kejadian yang menggoncangkan pikirannya selama hidupnya,
Sartre seperti menyimpan sebuah “dendam” atas sebuah “pengekangan” yang selama
ini dirasakannya. Ia banyak belajar mengenai filsafat yang menekankan pada
unsur eksistensialisme, keberadaan. Ia sangat tertarik dengan pemikiran filsuf
– filsuf eksistensialisme terdahulu seperti Soren Kierkegaard, David Hume,
Edmund Husserl dan Rene Descartes. Eksistensialisme Sartre ini berakar dalam
empirisme Hume (niscaya kita sama sekali tidak dapat mengetahui apapun di luar
apa yang benar – benar kita alami) sekaligus rasionalisme Descartes (“cogito, ergo sum” aku berpikir maka aku
ada). Filsafat Sartre bergantung pada kebebasan individu untuk memilih,
kesadaran memilih dirinya sendiri sebagai suatu keinginan. Eksposisi
eksistensialisme Sartre tertuang dalam “L’Existensialism
est un humanism yang hanya dalam beberapa tahun saja telah diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa di dunia.
Oleh
: Anna Rakhmawati
0911130018
hai kak, salam kenal.
ReplyDelete