Kerinduan
itu datang lagi. Menusuk bagai pisau belati. Hingga hati terasa tercabik -
cabik. Perih, kala nama itu kembali terngiang, terkenang, dan terbentang dalam
ingatan. Menyalakan kembali dian dalam diriku yang telah kupadamkan agar tak
meleleh, agar tak habis dihisap api.
Desir
angin, debur ombak, kilau pasir putih, kicau kawanan burung – burung serta semburat
jingga di batas horizon yang masih enggan untuk digantikan kelamnya malam masih
setia menemaniku berkelana ke masa lalu. Masa di mana kami selalu bersama, baik
sedih maupun senang walau tak banyak
kudengar kata – kata terucap darinya. Ia yang selalu terlihat tegar, setegar
karang di tepi pantai meski badai dan ombak kerap kali menghempasnya. Ia yang
selalu patuh pada ibu, sepatuh matahari terhadap titah penciptanya meski tak
sejalan dengan keinginan hatinya. Ia adalah Samuderaku, Samudera kami semua.
Masih
tetap kupandangi lautan lepas di hadapanku. Tak berujung. Seperti halnya cinta
ibu padanya. Ibu, wanita berusia 45 tahun itu kini harus menghidupi aku, buah
hati satu – satunya yang lemah. Ibu yang tak pernah mengeluh, Ibu yang selalu
menolak jika kuajak pergi ke pantai. Pantai, laut dan segala sesuatu yang
berhubungan dengannya membuat ibu teringat kenangan pahitnya. Aku ingat, ibu
pernah bercerita bahwa ayahku yang seorang angkatan laut, meninggal dalam
melaksanakan tugasnya di Samudera Hindia. Alangkah tragisnya! Ketika itu aku
masih sangat kecil dan tak ada satu pun kenanganku bersama ayah. Aku hanya mengenal
ayah dari cerita ibu dan foto – fotonya. Wah, ayahku ternyata tampan. Mirip
sekali dengan kakakku, Samudera.
Hmmm…
SAMUDERA. Kutulis besar – besar barisan huruf membentuk namanya di pasir. Lagi – lagi hatiku ngilu mengeja namanya. Rasanya
seperti ada sepi yang tiba – tiba hadir menyeruak tanpa permisi. Semua hening
sejenak. 5 detik kemudian,Wuuuusss….. Kudapati barisan huruf – huruf itu telah
rata dengan pasir yang lain. Dihapus ombak sampai tak berbekas.
***
“Tidak!! Ibu tidak akan
mengizinkanmu pergi. Ibu tidak merestui, Nak!”
Aku tersentak oleh teriakan ibu.
Kuhampiri ibu dan Kak Sammy, panggilan Kak Samudera, yang saat itu berada di
ruang makan. Kulihat raut wajah ibu
menegang dan butiran bening membasahi pipinya. Aku hanya diam.
“Ambil saja pendidikan dokter. Ibu
yakin kau bisa. Itu lebih baik untuk masa depanmu.”
“Tetapi aku tidak menyukainya.”
Ada getar dalam suaranya. Tanda ia
menahan emosinya.
“Cobalah dahulu. Cobalah untuk
menyukainya.”
Ia menghela napas dalam – dalam. Tak ingin berlama – lama
dalam situasi yang tidak nyaman ini, ia memilih untuk mengakhiri perbincangan
itu, mengambil kertas formulir di atas meja dan masuk ke kamarnya. Formulir
pendaftaran akademi militer angkatan laut, kuintip sekilas. Aku bisa mengerti.
Ibu tidak ingin kehilangan lagi. Ibu tidak ingin cerita yang sama terulang
lagi. Namun ibu lupa, nasib manusia berbeda – beda. Semuanya telah ada yang
mengatur dengan skenario terbaik. Yah…Ibu terlalu hanyut dalam elegi masa lalu.
Itulah
Samudera. Hatinya yang seluas samudera lebih baik mengalah daripada melihat ibu
menangis. Baginya mengalah lebih baik daripada memperpanjang masalah. Di usianya yang sudah 18 tahun ini, ia telah
berubah menjadi lelaki dewasa yang memprioritaskan keluarganya. Tegar,
berwibawa, patuh dan santun. Kak Sammy
sangat menyukai pantai, laut, samudera dan segala sesuatu yang berkaitan dengan
itu. Lebih – lebih lagi karena namanya. Sesuai saran ibu, ia melanjutkan ke
universitas ternama di kotaku dan mengambil jurusan pendidikan dokter. Tak
diragukan lagi. Prestasinya selama 1 tahun luar biasa cemerlang. IP nya selalu
cumlaude. Namun sayang, ia tak terlalu membuka diri dalam pergaulan di
kampusnya. Cenderung dingin dan tak peduli masalah sekitarnya. Satu – satunya sahabatnya yang kutahu adalah
Bara. Bara yang tak terlalu pandai namun sangat menyenangkan dan pandai
bergaul. Aku heran, mengapa ia bisa cocok dengan Kak Sammy?
Ibu bangga. Ibu tersenyum. Aku pun tersenyum. Namun tanpa kami
sadari, Kak Sammy menangis seorang diri di dalam kamarnya. Ia sudah tidak tahan
lagi. Batinnya memberontak. Ia tak pernah menemukan rasa
bernama bahagia dan puas dalam hidupnya selama setahun ini. Selama itu ia mencoba bertahan. Mencoba melakukan sesuai wejangan ibu dengan sepenuh hati. Namun
hatinya tetap tak bisa dibohongi. Ia tak bisa menikmati semua ini. Ia frustasi.
Ia hanya mampu menyimpannya sendiri tanpa mau berbagi. Ini bukanlah dunianya
karena laut telah lebih dulu memanggil – manggilnya jiwanya.
Puncaknya, ia pergi dari rumah tanpa pamit. Bara
mencarinya kesana - kemari, tetap tak ketemu. Aku tahu ke mana ia pergi. Pasti
ke pantai. Kami mencari ke semua pantai terdekat. Hmm .. NIHIL! Kami nyaris
putus asa. Sudah 4 hari ia pergi tanpa kabar. Hanya secarik
kertas berisi pesan singkat yang sedikit terbakar di ujungnya. Ibu semakin khawatir membaca pesan singkat itu. “Sudah
saatnya mengakhiri semua ini. Sekarang atau nanti akan sama saja. Lebih lama
bertahan justru akan semakin tersiksa.”
Ibu tak bisa tidur memikirkannya. Kata – kata itu telah menggerogoti
semangat ibu. Ibu tak mau makan. Aku sedih. Aku hanya bisa mendoakannya agar
segera kembali pulang.
Hari ke-5 setelah kepergian Kak
Sammy,
“Toktok..tok..
Assalammu’alaikum.”
Sosok
tinggi tegap dengan rambut nyaris gundul datang bersama seseorang yang sudah
sangat kami tunggu – tunggu kedatangannya. Aku segera menyambutnya dengan penuh
kelegaan. Aku yakin ia tak akan melakukan hal senekat itu. Ia adalah kakakku
yang paling tegar.
Laki
– laki tinggi tegap itu adalah teman ayahku semasa menjadi angkatan laut.
Ternyata selama beberapa hari ini Kak Sammy tinggal di rumahnya. Namanya Pak
Rangga. Kulihat ibu, Kak Sammy dan Pak Rangga berbincang – bincang cukup serius
di ruang tamu. Setelah melewati
perbincangan yang cukup lama, ibu menghela napas dan mengangguk pelan tanda
setuju. Alangkah bahagianya kakakku yang tampan itu. Ia mencium tangan ibu lalu
memeluknya. Kulihat Pak Rangga juga tersenyum lega. Kak Sammy pun memelukku
dengan mata berbinar – binar dan senyuman cerah. Telah lama kuingin melihat
wajah itu. Tak ingin lagi kulihat wajahnya yang selalu murung dan redup. Aku
ingin dia hidup dengan sebenar – benarnya hidup.
Ia
menulis beberapa kalimat dalam buku catatanku. Ia pergi pagi – pagi tanpa sempat mengucapkan perpisahan.
Ia hanya tak ingin mengusik mimpi indahku. Benar saja, saat itu aku benar –
benar mimpi indah.
“Dinda sayang, saat ini Kakak benar
– benar telah bebas. Kakak pergi bukan karena tak sayang pada kamu dan ibu.
Kakak sangat sayang pada kalian. Kalianlah harta Kakak yang paling berharga.
Kakak hanya ingin mengejar mimpi. Anggukan ibu kemarin adalah pelepas borgol
dalam hati dan pikiran Kakak selamabertahun - tahun. Laut telah memanggil jiwaku.
Jaga diri baik – baik. Ikuti kata hatimu selama itu benar. Kamu adalah
mentariku yang selalu menghangatkan hari – hariku.
Samudera yang sedang berbahagia.
Aku
terharu membacanya. Semoga kau baik – baik di sana Kak.
Keesokan harinya,
Sebuah
panggilan telepon membangunkanku dan ibu. Beberapa menit setelah mengangkat
gagang telepon, ibu menangis sesenggukan. Ia segera berlari menghampiriku yang
masih di tempat tidur. Ia menangis sambil memelukku. Terbata – bata ibu
menceritakannya padaku. Berita itu bagai mimpi buruk yang berlanjut di dunia
nyata. Tangisku pun tak sanggup dibendung lagi. Sementara itu, di luar hujan
turun dengan deras. Alam pun ikut berduka. Seorang samudera telah pergi dan tak
kembali.
***
“Mentari!”
Aku terperanjat. Panggilan ibu
menyeretku kembali ke alam nyata. Ternyata aku sudah lama duduk di sini. Tak
kusadari matahari telah bersembunyi di balik peraduannya. Siap berganti dengan
malam beserta kawanannya, bulan dan bintang – bintang.
“Sampai kapan kau mau terus duduk di
situ? Ayo Bara bantu ibu menuntun Mentari ke kursi roda.”
Ibu dan Bara membantuku kembali ke
kursi roda. Tak terasa sudah 10 tahun sejak peristiwa pilu itu. Kini aku sudah
berusia 26 tahun. Kini kami tak lagi tinggal berdua. Bara telah resmi menjadi
anggota keluarga kami. Akhirnya aku tahu mengapa selama ini Bara begitu dekat
dengan Kak Sammy. Ternyata ia ingin sering – sering bertemu denganku. Hehehe.
Ia tak peduli aku selalu menggunakan kursi roda untuk berpindah tempat. Namun
demikian, ia merasa sangat beruntung mengenal Kak Sammy. Ia telah banyak
belajar dari kakakku.
Saat ini kami sedang berlibur di sebuah villa di tepi
pantai. Ibu tak pernah paranoid lagi terhadap laut. Ibu telah sadar bahwa tak
pantas ia menyalahkan apapun. Ini adalah kehendak-Nya. Lagipula kematian Kak
Sammy bukanlah di laut tetapi di darat. Kematian dapat menjemput siapa pun di
mana pun. Walau demikian aku bahagia, Kak Sammy menghadap pada-Nya dalam
perjalanan untuk menuntut ilmu yang sesuai dengan kata hatinya. Tanpa adanya
keterpaksaan, tanpa adanya beban kehidupan dan kini ia telah temukan kebebasan
yang telah lama ia damba – dambakan.
“Meski
ia tak lagi bersama kita. Meski ombak menghapus namanya. Namun ia kan selalu
ada dalam hati ini.”Ibu dan Bara serempak mengangguk sambil tersenyum mendengar
kata - kataku.
No comments:
Post a Comment