Renungan Penghujung Ramadhan, malam 1 syawal
Takbir berkumandang bersahut –
sahutan dari masjid mengagungkan AsmaNya seiring dengan dering handphone dengan
pesan – pesan singkat berisikan maaf dan ucapan selamat Idul Fitri. Jejaring –
jejaring sosial yang semakin mempermudah hubungan antar manusia yang
terpisahkan oleh jarak itu semakin ramai saja.
Pikiranku tersesat dalam memori
masa lalu, masa kini dan masa depan. Entah apa ini wajar atau tidak. Bagiku,
malam syawal selalu akan seperti ini. Tahun lalu, tahun ini, tak ada yang
berubah. Sejak tahun lalu aku beradu ide di depan laptopku. Namun tampaknya aku
tak bisa menemukan file catatanku tahun lalu . Sebelum –
sebelumnya? Hampir sama. Terkadang berbelanja kebutuhan lebaran, nonton tivi,
dan menata kue lebaran. Tak ada lagi takbiran keliling, tak ada euphoria takbir
bersama di masjid dengan teman – teman, tak seperti adik perempuanku yang rajin
dan hanyut dalam gempita Idul Fitri karena puasanya pol, sebulan penuh,
bersemangat ikut takbiran di masjid. Kebanggaan dan keceriaan masa anak – anak yang
kurindukan.
Saat ini, jujur saja, aku dilanda
galau yang membuatku meracau seperti ini.
Pertama, ramadhan telah lewat.
Rasanya sedih. Semua yang terjadi selama ramadhan ini terasa begitu cepat. Tak
terasa. Sedikit hambar kah? Mungkin. Kalau diingat – ingat jadi ada penyesalan
di dalamnya, kenapa aku nggak gini, kenapa aku nggak gitu, kenapa aku males
teraweh di masjid, kenapa aku sedekahnya kadang – kadang? Dan beribu kenapa
nongol di kepala. Ya Allah…. Terima kasih atas nikmatMu, Engkau pertemukan aku
dengan Ramadhan ini dan mengisinya dengan ibadah yang entah bagaimana kualitas
dan kuantitasnya,, menurunkah? Meningkatkah? Hanya Engkau yang Maha Tahu.
NIkmatMu tak pernah berhenti, Alhamdulillah atas semua berkah ini.
Kedua, kegiatan – kegiatan yang
memang sepertinya sudah “mengagenda” dalam setiap keluarga. Ya, aku yakin
setiap keluarga memiliki caranya masing – masing. Dimulai dengan saling kirim
pesan maaf penyambung silaturrahmi sejak malam syawal dengan teman – teman,
sholat idul Fitri di pagi hari, sungkem dengan orang tua, para sepuh dan
saudara – saudara dan berkunjung ke rumah tetangga dan segenap keluarga
besar.Terkadang terbesit pertanyaan, “Mengapa
kita meminta maaf pada mereka kemudian kita menabung dosa lagi?” hmmmm…..
“Lalu di manakah esensi Idul
Fitri itu sendiri?”
Aku merasa tersesat, terjebak
dalam pemaknaan yang entah seperti apa. Dalam keterjebakanku, Tuhan
seperti mengarahkanku untuk menemukan jawabannya. Kesempatan Idul fitri adalah untuk kembali
fitri (suci). Dosa – dosa kita diampuni, direduksi agar tidak menggunung
tinggi. Berusaha menjaga agar tak berbuat dosa lebih banyak lagi. Bagaimana
jika tak ada Idul Fitri, manusia tidak saling bermaafan, mungkin dosa – dosa
kita telah menggunung tinggi. Adalah Hari Kemenangan, bagi umat muslim setelah
sebulan lamanya berpuasa, menahan hawa nafsunya. Namun terkadang, hari kemenangan tersebut
tidak benar – benar dimaknai sebagaimana seharusnya, seperti halnya : bermain
kembang api dan petasan secara berlebihan yang mengganggu warga dan juga
pemborosan. Zaman semakin canggih, paradox semakin sering terjadi.
Jawaban atas pertanyaanku tersebut
semakin diperkuat dengan sebuah ulasan singkat yang disampaikan Pak Mahfud MD
dalam tayangan sebuah program televisi komedi satire pada suatu malam. Mengutip
dari pesan Sunan Bonang, mengenai makna dari ketupat atau “kupat” dalam bahasa Jawa, sebagai makanan tradisi lebaran di jawa
berisi beras yang dibungkus dengan daun kelapa (janur) kemudian direbus. Kupat
berarti laku sing papat : 4 keadaan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada orang
yang berpuasa dengan keikhlasan dan kesungguhan. 4 keadaan itu antara lain :
-
Lebar
yakni telah menyelesaikan puasanya dengan melegakan
-
Lebur
yakni terhapus semua dosa yang dilakukan di masa lalu
-
Luber
yakni melimpah ruah pahala dan amal – amalnya
-
Labur
yakni bersih dirinya dan cerah bercahayawajah dan hatinya.
Tak ketinggalan, sebagai
pembungkusnya, janur juga memiliki filosofi : Janur (sejatining nur) atau
cahaya yang sejati. Perwujudan dari sikap pengasih dan penyayang. Kebahagian
yang hakiki adalah jika kita mampu berbagi sesama manusia. Sehingga dengan
adanya filosofi tersebut diharapkan kita sebagai manusia dapat bersikap dan
berperilaku lembut dan santun terhadap sesama umat sekaligus tegas dan berani
melawan ketidakadilan. Semoga bukan hanya menjadi harapan.
Dulu, Idul Fitri adalah : baju
baru, sholat id, kue – kue, salam – salaman keliling, mudik ke desa bertemu
keluarga besar, dan yang paling penting adalah nominal – nominal dalam kertas
yang masih bau baru : salam tempel. Sekarang, mungkin sedikit lebih tidak
menggebu – nggebu mengumpulkan salam tempel, dibelikan baju baru ya
Alhamdulillah, enggak ya nggak masalah. Intinya bisa berkumpul dan menyambung
silaturrahmi dengan keluarga jauh serta menyadari kasih dan sayangNya dalam
hati karena kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan bulan Ramadhan
serta Idul Fitri dan berharap semoga masih kita diberi kesempatan untuk bertemu
bulan Ramadhan selanjutnya, melanjutkan dan berusaha meningkatkan kualitas
serta kuantitas ibadah dan amal kita. Amiin. Wallahu’alam bishowab.
Referensi tambahan;
Ulasan oleh Arif Gumantia (Ketua
Majelis Sastra MAdiun) tentang "Puasa dan piwulang Sunan Bonang" dalam
http://harian-oftheday.blogspot.com/2012/08/hikmah-of-day-puasa-dan-piwulang-sunan.html
Sumber gambar : www.pingingaul.com