Friday, 10 August 2012

A little big thing from "Starting from A"

Tadi siang saya datang di acara seminar tentang “Disability awareness”. Diadakannya seminar ini oleh dekanat FIB bukannya tanpa sebab, tapi karena tahun ini di UB membuka jalur masuk untuk orang – orang yang mengalami “kekurangan” seperti tuna rungu, tuna netra, tuna daksa dan FIB mendapat mahasiswa baru tersebut dengan jumlah yang paling banyak di antara fakultas lainnya. Sehingga perlu adanya pengetahuan bagaimana cara menangani mahasiswa dengan kemampuan special itu dalam lingkungan akademik. Selain itu, acara ini juga akan dilanjutkan dengan ceramah agama dan ditutup dengan acara buka bersama untuk merayakan dies natalis FIB yang ke-3 dan peresmian lantai 1 gedung baru FIB (sebenarnya ini nih yang paling dinanti :P #ups)
Oke, kembali ke seminar tadi. Awalnya saya tidak terlalu tertarik dengan undangan tersebut, tapi karena saya didelegasikan oleh ketua DPM ya sudah saya ikuti saja, itung – itung dapet pengetahuan baru :p Pembicara dalam seminar ini adalah penggagas adanya program seleksi mahasiswa difabel di Universitas Brawijaya (sebagai pioneer universitas yang membuka kesempatan akademik bagi para difabel di indonesia), yakni bapak Slamet Tohari. Beliau berjalan menggunakan kruk namun tak menghalangi beliau untuk mencari ilmu, bahkan beliau akan melanjutkan studinya untuk S3. Beliau menyampaikan mengenai apa itu difabel, sensivitasnya serta cara menanganinya. Selain itu, beliau juga menampilkan sebuah film pendek berjudul :

“Starting from A”


Diceritakan ada seorang perempuan penyandang tuna netra yang berteman dengan laki – laki penyandang tuna rungu dan bisu. Awalnya, perempuan itu mengajari laki – laki tersebut mengucapkan huruf A. kemudian mereka melakukan sholat, perempuan itu membentangkan sajadahnya namun terbalik arahnya dan si laki – laki membetulkan posisi sajadahnya. Terjadi hal yang cukup unik, si perempuanlah yang menjadi imam bagi laki – laki bisu tersebut. Hal tersebut diketahui oleh sang ibu perempuan itu. Ibunya mengatakan bahwa si perempuan itu sudah seharusnya mencari seorang suami dan beliau mengatakan bahwa imam itu harus lelaki, jika seorang lelaki tidak dapat menjadi imam, ia tidak pantas disebut lelaki. 
Ditampilkan juga saat perempuan tersebut mengirimkan sms pada lelaki itu. Saya cukup heran, bagaimana mungkin seorang tuna netra bisa sms-an? Namun Ternyata ia juga dapat melakukan hal – hal yang biasa dilakukan orang – orang normal yang kita anggap tidak mungkin. Si perempuan memakai sebuah kacamata hitam yang 1 lensanya lepas namun ia tidak mengetahuinya. Ia pun diajak oleh laki – laki itu ke toko kacamata dan dipilihkannya salah satu. Si laki – laki menanyakan harga pada penjualnya yang sayangnya si penjual tidak memahami maksud laki – laki bisu itu. Ia pun menjelaskan pada perempuan itu melalui bahasa isyarat dengan tangan yang hanya dapat dipahami si perempuan yang lalu disampaikan kepada si penjual. Sungguh komunikasi yang unik!
Pada kesempatan lainnya, perempuan tersebut kembali mengajari laki – laki itu untuk mengucapkan kata : akbar. Berulang – ulang hingga lancar. Bahkan untuk memastikan, si perempuan memegang mulut laki – laki itu untuk mengetahui pelafalannya. Hal yang lucu adalah saat si perempuan meraba dada si lelaki sambil bergantian dengan meraba dadanya lalu meraba ke bagian bawah laki – laki itu. Hal tersebut bukanlah menjadi tabu bagi seorang tuna netra, karena hanya dengan indra peraba ia mampu mengetahui sesuatu yang tak dapat bersuara.
Hingga tiba di scene akhir yakni si laki – laki kini menjadi imam sholat bagi si perempuan. Laki – laki itu akhirnya  mampu melafazhkan : Allahu Akbar. 

Ya, itulah sekelumit kisah tentang simbiosis mutualisme seorang tuna netra dan tuna rungu – bisu. Film ini benar - benar menginspirasi. Dalam berkomunikasi, mereka memanfaatkan benar apa yang mereka miliki. Seorang tuna netra memanfaatkan indera bicara dan perabanya sementara seorang tuna rungu – bisu benar – benar memanfaatkan indera penglihatan dan perabanya dengan baik. Dengan demikian komunikasi tetap berjalan meskipun mereka memiliki kekurangan tersebut. Saya yakin, meskipun mereka memiliki kekurangan namun di sisi lain Tuhan memberi mereka kelebihan yang tak dimiliki oleh orang – orang normal pada umumnya. Mereka tetap memiliki kesempatan dan hak yang sama dengan orang – orang di sekitarnya. Jangan pernah membuat mereka merasa berbeda dengan bertanya yang aneh – aneh seputar ketidaksempurnaannya, mereka adalah orang – orang yang memiliki sensitivitas yang cukup besar. Banyak kita jumpai di sekitar kita tentang orang – orang difabel ini yang justru memiliki prestasi yang luar biasa. Seperti Beethoven, composer besar yang mengalami tuli, Yoo Ye-eun pianis muda berbakat diri korea selatan yang tuna netra, serta masih banyak contoh yang lainnya. Mereka tentunya memiliki motivasi yang kuat yang harus kita tiru. Menjadi sebuah perenungan bagi saya dan kita semua yang memiliki indera yang lengkap, kesempatan yang banyak, namun seringkali kita mengeluh tentang beratnya jalan hidup kita. Coba kita tengok mereka yang tak dapat melihat sehingga harus dibantu dengan huruf Braille, mereka yang tak bisa mendengar sehingga tak dapat berbicara, sudahkah kita bersyukur atas karunia Tuhan berupa tubuh yang sempurna dan sehat ini? Sudahkah kita maksimal dalam usaha meraih impian serta melakukan hal – hal yang bermanfaat bagi sekitar? Hanya hati kecil kita masing – masing yang dapat menjawabnya.
 image from : http://en.wikipedia.org/wiki/File:Disability_symbols_16.png


10092012. 09.09 pm

No comments:

Post a Comment