Tadi siang saya datang di acara
seminar tentang “Disability awareness”. Diadakannya seminar ini oleh dekanat
FIB bukannya tanpa sebab, tapi karena tahun ini di UB membuka jalur masuk untuk
orang – orang yang mengalami “kekurangan” seperti tuna rungu, tuna netra, tuna
daksa dan FIB mendapat mahasiswa baru tersebut dengan jumlah yang paling banyak
di antara fakultas lainnya. Sehingga perlu adanya pengetahuan bagaimana cara
menangani mahasiswa dengan kemampuan special itu dalam lingkungan akademik.
Selain itu, acara ini juga akan dilanjutkan dengan ceramah agama dan ditutup
dengan acara buka bersama untuk merayakan dies natalis FIB yang ke-3 dan
peresmian lantai 1 gedung baru FIB (sebenarnya ini nih yang paling dinanti :P
#ups)
Oke, kembali ke seminar tadi.
Awalnya saya tidak terlalu tertarik dengan undangan tersebut, tapi karena saya
didelegasikan oleh ketua DPM ya sudah saya ikuti saja, itung – itung dapet
pengetahuan baru :p Pembicara dalam seminar ini adalah penggagas adanya program
seleksi mahasiswa difabel di Universitas Brawijaya (sebagai pioneer universitas
yang membuka kesempatan akademik bagi para difabel di indonesia), yakni bapak
Slamet Tohari. Beliau berjalan menggunakan kruk namun tak menghalangi beliau
untuk mencari ilmu, bahkan beliau akan melanjutkan studinya untuk S3. Beliau
menyampaikan mengenai apa itu difabel, sensivitasnya serta cara menanganinya. Selain
itu, beliau juga menampilkan sebuah film pendek berjudul :
“Starting from A”
Diceritakan ada seorang perempuan
penyandang tuna netra yang berteman dengan laki – laki penyandang tuna rungu
dan bisu. Awalnya, perempuan itu mengajari laki – laki tersebut mengucapkan
huruf A. kemudian mereka melakukan sholat, perempuan itu membentangkan
sajadahnya namun terbalik arahnya dan si laki – laki membetulkan posisi
sajadahnya. Terjadi hal yang cukup unik, si perempuanlah yang menjadi imam bagi
laki – laki bisu tersebut. Hal tersebut diketahui oleh sang ibu perempuan itu.
Ibunya mengatakan bahwa si perempuan itu sudah seharusnya mencari seorang suami
dan beliau mengatakan bahwa imam itu harus lelaki, jika seorang lelaki tidak
dapat menjadi imam, ia tidak pantas disebut lelaki.
Ditampilkan juga saat perempuan
tersebut mengirimkan sms pada lelaki itu. Saya cukup heran, bagaimana mungkin
seorang tuna netra bisa sms-an? Namun Ternyata ia juga dapat melakukan hal –
hal yang biasa dilakukan orang – orang normal yang kita anggap tidak mungkin. Si
perempuan memakai sebuah kacamata hitam yang 1 lensanya lepas namun ia tidak
mengetahuinya. Ia pun diajak oleh laki – laki itu ke toko kacamata dan
dipilihkannya salah satu. Si laki – laki menanyakan harga pada penjualnya yang
sayangnya si penjual tidak memahami maksud laki – laki bisu itu. Ia pun
menjelaskan pada perempuan itu melalui bahasa isyarat dengan tangan yang hanya
dapat dipahami si perempuan yang lalu disampaikan kepada si penjual. Sungguh
komunikasi yang unik!
Pada kesempatan lainnya, perempuan
tersebut kembali mengajari laki – laki itu untuk mengucapkan kata : akbar.
Berulang – ulang hingga lancar. Bahkan untuk memastikan, si perempuan memegang
mulut laki – laki itu untuk mengetahui pelafalannya. Hal yang lucu adalah saat
si perempuan meraba dada si lelaki sambil bergantian dengan meraba dadanya lalu
meraba ke bagian bawah laki – laki itu. Hal tersebut bukanlah menjadi tabu bagi
seorang tuna netra, karena hanya dengan indra peraba ia mampu mengetahui
sesuatu yang tak dapat bersuara.
Hingga tiba di scene akhir yakni
si laki – laki kini menjadi imam sholat bagi si perempuan. Laki – laki itu akhirnya
mampu melafazhkan : Allahu Akbar.
Ya, itulah sekelumit kisah
tentang simbiosis mutualisme seorang tuna netra dan tuna rungu – bisu. Film ini benar - benar menginspirasi. Dalam berkomunikasi,
mereka memanfaatkan benar apa yang mereka miliki. Seorang tuna netra
memanfaatkan indera bicara dan perabanya sementara seorang tuna rungu – bisu benar
– benar memanfaatkan indera penglihatan dan perabanya dengan baik. Dengan
demikian komunikasi tetap berjalan meskipun mereka memiliki kekurangan tersebut.
Saya yakin, meskipun mereka memiliki kekurangan namun di sisi lain Tuhan memberi
mereka kelebihan yang tak dimiliki oleh orang – orang normal pada umumnya.
Mereka tetap memiliki kesempatan dan hak yang sama dengan orang – orang di
sekitarnya. Jangan pernah membuat mereka merasa berbeda dengan bertanya yang
aneh – aneh seputar ketidaksempurnaannya, mereka adalah orang – orang yang
memiliki sensitivitas yang cukup besar. Banyak kita jumpai di sekitar kita
tentang orang – orang difabel ini yang justru memiliki prestasi yang luar
biasa. Seperti Beethoven, composer besar yang mengalami tuli, Yoo Ye-eun pianis
muda berbakat diri korea selatan yang tuna netra, serta masih banyak contoh
yang lainnya. Mereka tentunya memiliki motivasi yang kuat yang harus kita tiru.
Menjadi sebuah perenungan bagi saya dan kita semua yang memiliki indera yang
lengkap, kesempatan yang banyak, namun seringkali kita mengeluh tentang
beratnya jalan hidup kita. Coba kita tengok mereka yang tak dapat melihat
sehingga harus dibantu dengan huruf Braille, mereka yang tak bisa mendengar
sehingga tak dapat berbicara, sudahkah kita bersyukur atas karunia Tuhan berupa
tubuh yang sempurna dan sehat ini? Sudahkah kita maksimal dalam usaha meraih
impian serta melakukan hal – hal yang bermanfaat bagi sekitar? Hanya hati kecil
kita masing – masing yang dapat menjawabnya.
image from : http://en.wikipedia.org/wiki/File:Disability_symbols_16.png
10092012. 09.09 pm
No comments:
Post a Comment