Saturday, 25 August 2012

Lebaran


Renungan Penghujung Ramadhan, malam 1 syawal 


Takbir berkumandang bersahut – sahutan dari masjid mengagungkan AsmaNya seiring dengan dering handphone dengan pesan – pesan singkat berisikan maaf dan ucapan selamat Idul Fitri. Jejaring – jejaring sosial yang semakin mempermudah hubungan antar manusia yang terpisahkan oleh jarak itu semakin ramai saja.
Pikiranku tersesat dalam memori masa lalu, masa kini dan masa depan. Entah apa ini wajar atau tidak. Bagiku, malam syawal selalu akan seperti ini. Tahun lalu, tahun ini, tak ada yang berubah. Sejak tahun lalu aku beradu ide di depan laptopku. Namun tampaknya aku tak bisa menemukan file catatanku tahun lalu    . Sebelum – sebelumnya? Hampir sama. Terkadang berbelanja kebutuhan lebaran, nonton tivi, dan menata kue lebaran. Tak ada lagi takbiran keliling, tak ada euphoria takbir bersama di masjid dengan teman – teman, tak seperti adik perempuanku yang rajin dan hanyut dalam gempita Idul Fitri karena puasanya pol, sebulan penuh, bersemangat ikut takbiran di masjid.  Kebanggaan dan keceriaan masa anak – anak yang kurindukan.
Saat ini, jujur saja, aku dilanda galau yang membuatku meracau seperti ini. 

Pertama, ramadhan telah lewat. Rasanya sedih. Semua yang terjadi selama ramadhan ini terasa begitu cepat. Tak terasa. Sedikit hambar kah? Mungkin. Kalau diingat – ingat jadi ada penyesalan di dalamnya, kenapa aku nggak gini, kenapa aku nggak gitu, kenapa aku males teraweh di masjid, kenapa aku sedekahnya kadang – kadang? Dan beribu kenapa nongol di kepala. Ya Allah…. Terima kasih atas nikmatMu, Engkau pertemukan aku dengan Ramadhan ini dan mengisinya dengan ibadah yang entah bagaimana kualitas dan kuantitasnya,, menurunkah? Meningkatkah? Hanya Engkau yang Maha Tahu. NIkmatMu tak pernah berhenti, Alhamdulillah atas semua berkah ini. 

Kedua, kegiatan – kegiatan yang memang sepertinya sudah “mengagenda” dalam setiap keluarga. Ya, aku yakin setiap keluarga memiliki caranya masing – masing. Dimulai dengan saling kirim pesan maaf penyambung silaturrahmi sejak malam syawal dengan teman – teman, sholat idul Fitri di pagi hari, sungkem dengan orang tua, para sepuh dan saudara – saudara dan berkunjung ke rumah tetangga dan segenap keluarga besar.Terkadang terbesit pertanyaan, “Mengapa kita meminta maaf pada mereka kemudian kita menabung dosa lagi?” hmmmm….. 

“Lalu di manakah esensi Idul Fitri itu sendiri?”

Aku merasa tersesat, terjebak dalam pemaknaan yang entah seperti apa. Dalam keterjebakanku, Tuhan seperti mengarahkanku untuk menemukan jawabannya. Kesempatan Idul fitri adalah untuk kembali fitri (suci). Dosa – dosa kita diampuni, direduksi agar tidak menggunung tinggi. Berusaha menjaga agar tak berbuat dosa lebih banyak lagi. Bagaimana jika tak ada Idul Fitri, manusia tidak saling bermaafan, mungkin dosa – dosa kita telah menggunung tinggi. Adalah Hari Kemenangan, bagi umat muslim setelah sebulan lamanya berpuasa, menahan hawa nafsunya.  Namun terkadang, hari kemenangan tersebut tidak benar – benar dimaknai sebagaimana seharusnya, seperti halnya : bermain kembang api dan petasan secara berlebihan yang mengganggu warga dan juga pemborosan. Zaman semakin canggih, paradox semakin sering terjadi.

Jawaban atas pertanyaanku tersebut semakin diperkuat dengan sebuah ulasan singkat yang disampaikan Pak Mahfud MD dalam tayangan sebuah program televisi komedi satire pada suatu malam. Mengutip dari pesan Sunan Bonang, mengenai makna dari ketupat atau “kupat” dalam bahasa Jawa, sebagai makanan tradisi lebaran di jawa berisi beras yang dibungkus dengan daun kelapa (janur) kemudian direbus. Kupat berarti laku sing papat : 4 keadaan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada orang yang berpuasa dengan keikhlasan dan kesungguhan. 4 keadaan itu antara lain :

-          Lebar yakni telah menyelesaikan puasanya dengan melegakan
-          Lebur yakni terhapus semua dosa yang dilakukan di masa lalu
-          Luber yakni melimpah ruah pahala dan amal – amalnya
-          Labur yakni bersih dirinya dan cerah bercahayawajah dan hatinya.

Tak ketinggalan, sebagai pembungkusnya, janur juga memiliki filosofi : Janur (sejatining nur) atau cahaya yang sejati. Perwujudan dari sikap pengasih dan penyayang. Kebahagian yang hakiki adalah jika kita mampu berbagi sesama manusia. Sehingga dengan adanya filosofi tersebut diharapkan kita sebagai manusia dapat bersikap dan berperilaku lembut dan santun terhadap sesama umat sekaligus tegas dan berani melawan ketidakadilan. Semoga bukan hanya menjadi harapan.

Dulu, Idul Fitri adalah : baju baru, sholat id, kue – kue, salam – salaman keliling, mudik ke desa bertemu keluarga besar, dan yang paling penting adalah nominal – nominal dalam kertas yang masih bau baru : salam tempel. Sekarang, mungkin sedikit lebih tidak menggebu – nggebu mengumpulkan salam tempel, dibelikan baju baru ya Alhamdulillah, enggak ya nggak masalah. Intinya bisa berkumpul dan menyambung silaturrahmi dengan keluarga jauh serta menyadari kasih dan sayangNya dalam hati karena kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan bulan Ramadhan serta Idul Fitri dan berharap semoga masih kita diberi kesempatan untuk bertemu bulan Ramadhan selanjutnya, melanjutkan dan berusaha meningkatkan kualitas serta kuantitas ibadah dan amal kita. Amiin. Wallahu’alam bishowab. 


Referensi tambahan;
Ulasan oleh Arif Gumantia (Ketua Majelis Sastra MAdiun) tentang "Puasa dan piwulang Sunan Bonang" dalam 
http://harian-oftheday.blogspot.com/2012/08/hikmah-of-day-puasa-dan-piwulang-sunan.html


Sumber gambar : www.pingingaul.com

No comments:

Post a Comment