Dan terjadi lagi kisah lama yang
terulang kembali.
Kau terluka lagi dari cinta rumit
yang kau jalani.
Aku
ingin kau merasa, kamu mengerti aku mengerti kamu.
Entah mengapa setiap terdengar lagu itu, bayangannya
selalu muncul. Bergulirlah semua kenangan bersamanya. Semua tawa dan tangis
yang mengiringi kedekatan kami beberapa bulan ini. Entah mengapa aku selalu
memikirkannya sejak pertama kali ia tersenyum padaku.
Namanya Helena. Namun aku selalu memanggilnya Lena. Aku
lebih suka memanggilnya dengan cara yang berbeda dari orang – orang kebanyakan
yang selalu memanggilnya Helen. Lena bukanlah gadis yang ramai diperbincangkan
teman – teman laki – lakiku, seperti halnya Alexa yang memiliki wajah indo
blesteran Mesir – Indonesia ataupun Marina yang manis, putri salah satu
konglomerat besar di Indonesia. Lena tak pernah menjadi incaran teman – teman,
yang aku tahu sih, meskipun sosoknya cukup terkenal berseliweran di fakultasku
dengan pameran lukisannya. Sampai saat ini aku tak pernah
melihatnya berjalan dengan seorang cowok. Kalau tidak sendirian, biasanya ia beramai – ramai dengan
teman – temannya. Lena, menurutku sosok yang ramah,
disenangi oleh teman – teman dan juga dosennya. Prestasi akademik maupun
non-akademiknya pun seimbang, sering ia masuk jajaran mahasiswa berprestasi.
Lena tidak terlalu cantik secara fisik, namun bagiku ia memiliki inner beauty yang mampu menghipnotisku.
Menerbangkan angan – anganku sampai ke awan dan membuat detak jantungku tidak
karuan saat berdekatan dengannya. Lena, begitu istimewanya dia di mataku, namun
sepertinya ia tak pernah menyadari hal itu.
***
3
bulan yang lalu,
Siang
itu hujan mengguyur fakultasku dengan derasnya. Aku yang baru saja sampai di
parkiran fakultas harus berlari agar tak terlambat sampai di kelas. Gawat saja
kalau terlambat, siang ini aku ada jadwal UAS dengan dosenku yang terkenal killer. Aku tidak peduli butiran hujan
yang menerpa wajahku. Aku terkejut beberapa saat kemudian. Sebuah payung
berwarna ungu menutupi rambutku dari guyuran hujan. Seorang gadis berkacamata
bermata sipit berkulit kuning langsat tersenyum ke arahku sambil terus berusaha
memayungiku. Siapa gadis ini? Sepertinya aku tak pernah mengenalnya. Entahlah,
mungkin aku terlalu cuek sehingga tidak terlalu memperhatikan teman – teman
yang berbeda kelas atau jurusan denganku.
“Makasih
ya,” ucapku ketika sampai di pintu fakultas.
“Sama
– sama. Jangan lupa bawa payung saat musim hujan seperti ini,” balasnya sambil
menutup lalu melipat payungnya.
“Sepertinya
kita belum saling kenal? Siapa namamu?”
Dia
mendongak sambil mengerutkan dahi. “Oh ya? Hmm.. aku Helena.”
“Satrio.
Panggil Rio aja,” ucapku sambil berjabat tangan. “Jurusan apa?”
“Seni
rupa. Kamu pasti seni musik ya?”
“Kok
tahu?” tanyaku dengan bodohnya.
“Aku
nonton konsermu minggu lalu. Permainan gitarmu bagus.”
Astagaaa…baru
kali ini aku mendengar pujian yang tulus dan jujur. Belum sempat aku berkata – kata lagi, ia
mengakhiri perbincangan singkat kami dan berbelok ke arah kelas seni rupa
sambil tersenyum.
“Maaaaa..kasih.”
Hanya itu yang terlontar dari mulutku. Senyumnya ….. tertinggal di hatiku
hingga beberapa bulan kemudian. Sementara hujan deras di luar telah menjadi
barisan gerimis yang membuat getaran hatiku terdengar lebih kencang.
***
“Riooooo….”
Ia berlari ke arahku dengan semangat.
“Hei..
gimana lombanya kemarin? Sukses?” tanyaku.
“Aku
juara 1 Rio! Aku seneng banget!” Ia berseru kegirangan.
“Wah
selamat yaaa… Master!” ucapku sambil mengacak – acak rambutnya yang ikal.
“Traktir dong!”
“Pasti!
Oh ya, di sana aku juga ketemu sama gebetanku lhooo...si Adrian itu.”
Jleb!
Eh, apa ini yaa? Kok tiba – tiba ada yang sakit di dalam hati. Ah..apaan sih
Rio! Batinku. Sejak perkenalan saat hujan deras itu, hubunganku dan Helen memang
cukup dekat.
“Gara
– gara aku menang kontes melukis itu, dia ngajak aku ngobrol banyak hal. Dia
orangnya asyik banget. Bahkan katanya juga mau ngajak aku bergabung di
pamerannya bulan depan lho.” Mata sipit itu berkilat – kilat tanda ia sangat
berapi – api.
“Oh..jadi
cuma ini oleh – olehnya dari Tokyo?” tanganku mengambil gitar dan mulai
mengalihkan perhatian.
“Enggaklah.
Nih aku bawain kamu 1 set miniatur menara Tokyo.”
“Siapa
yang minta itu?”
“Kamu
kan?”
“Bukan.
Aku kan mintanya 1 set miniature alat musik tradisional Jepang? Gimana sih
Len?”
“Lho..trus
siapa dong yang minta ini?” Wajahnya mengkerut sambil melihat check list oleh – olehnya. “Astaga…ini
pesenan oleh – oleh kakek. Yo, maaf ya..aku lupa,” ucapnya sambil meringis dan
menggaruk – nggaruk kepalanya.
“Ya
udah nggak papa deh, nenek Helena. Lihat nenek sampai di Indonesia dengan
selamat dan bawa trophy juara 1 aja udah jadi oleh – oleh spesial buat aku.”
“Huaaaaaa…Rioooooo!!!”
Dijitaknya kepalaku berkali – kali sambil tertawa – tawa. Gadis ini memang luar
biasa, batinku tersenyum menatap hasil lukisannya yang berjudul “The Dream comes true”. Yes, your dream
comes true Lena.
Kriiiinggg….
“Hallo.. Iya Adrian!” Wajah Lena
berbinar – binar mendapat telepon dari Adrian. Ia pun pamit pergi.
Maybe
my dream is still waiting for becoming true. Aku pun
tersenyum sambil memandangi sosok gadis pelukis yang telah menancapkan coretan
kuas merah mudanya itu di kanvas hatiku.
***
“Yo, denger – denger lo lagi deket
ama si Helen ya? Lo suka ya ama si Helen?”
Hukkkkhhuuukk….
Pertanyaan Ody barusan membuatku
tersedak. Gila aja nih anak nanya nggak lihat – lihat kondisi. Orang lagi minum
juga. “Emang kenapa?”
“Beneran? Lo nggak bercanda kan?”
“Apaan sih lo kepo banget! Mau tau
aja!”
“Wah berarti serius nih anak. Kenapa
nggak lo tembak aja sekalian? Si Helen sejak pulang dari Tokyo banyak
dibicarain tuh sama cowok – cowok.”
“Terus kenapa? Dia lagi suka ama
cowok lain bro. Pelukis juga. Ya
biarin aja. Emang gue suka si Lena dari dulu kok sebelum dia jadi setenar
sekarang.”
“Buset dah! Ya nggak papa lagi.
Selama mereka berdua belum jadian, lo duluin aja. Kalian kan kompak banget tuh.
Sebelum dia diembat orang.”
“Tujuan lo Dy? Lo suka ama si Lena
juga?”
“Enak aja lo! Nggak. Helena itu bukan
tipe gue banget. Dia itu standarnya tinggi kelihatannya. Sukanya ngatur –
ngatur. Dia kan ketua apa tuh? Kumpulannya anak – anak seni rupa gitu.”
“Hahahaha… tapi dia nggak pernah sok
ngatur tuh kalo ama gue. Ya professional lah bro. Itu yang gue suka dari dia.
Mandiri. Kreatif dan selalu bisa diandalkan saat dia berada di komunitasnya.
Makanya nggak heran prestasinya oke banget!”
“Ya udah makanya cepet – cepet tuh.
Sebelum lo nyesel.”
Perbincangan diakhiri dengan
dicomotnya potongan pizza terakhirku yang menyebabkan dimulainya battle game
online. Perbincangan dengan Ody barusan membuat hatiku terasa gamang.
***
Hari – hari di kampus terasa sedikit
hampa. Musim UAS kembali menyapa. Proyek akhir semakin menumpuk. Kesibukan di
akhir semester sedikit merenggangkan hubunganku dengan Lena. Entah dia juga
sepertinya sedang sibuk dengan ujiannya dan juga persiapan acara gelar seni
kolaborasi menyambut ulang tahun Fakultas Seni ini. Petikan senar gitarku akan
ikut tampil untuk memeriahkannya bersama homeband fakultas.
***
Acara Gelar seni semakin dekat.
Kurang 3 hari lagi. Semua orang sibuk mempersiapkannya. Mereka semua kompak
untuk mempersiapkan pameran, stand dan penampilan terbaik dari jurusan mereka
masing – masing. Gelar seni tahun ini merupakan proyek akhir kolaborasi
angkatan kami. Semua cabang seni ada di sini. Acara yang digelar selama
seminggu ini juga menjadi agenda wajib dikunjungi bagi pecinta seni dari
berbagai kota di Indonesia. Oleh karena itulah, sebagai mahasiswa seni musik
kami harus berlatih secara maksimal.
krrrrriiiiing!
Handphoneku berbunyi cukup nyaring.
“Rio! Kamu di mana?”
Suara yang biasanya terdengar
cempreng dan ceria itu berubah menjadi berat dan sedih. Pasti ada yang tidak
beres dengan manusia satu ini.
“Kenapa Len? Aku lagi di studio.
Lagi latihan dengan teman – teman. Kamu kenapa?”
“Hmmm.. ya udah deh. Maaf
mengganggu.” Klik. Helena mematikan
sambungan teleponnya terdengar serak menahan air mata di sana.
“Halo..Len…Lena!” Perasaanku tidak
enak, entah ada yang terjadi dengan gadis itu. Aku meminta izin pada teman –
teman grup bandku untuk break hari
ini. Beruntung mereka mengizinkan. Segera kutenteng tas gitarku dan menyambar
satria biruku. Aku tahu ke mana harus mencarinya. Kedai es krim. Tempat favoritnya
kala galau melandanya. Dan ia akan memesan 1 gelas es krim coklat serta
tiramisu. Benar saja, sosok itu menatap sedih keluar jendela sambil sesekali
menyendok es krim coklatnya.
“Len.”
Seperti tahu akan kedatanganku, ia
tidak terkejut. Ia tersenyum padaku. “Aku tahu kamu pasti akan datang ke sini,”
jawabnya.
Sore itu langit cukup mendung.
Cerita yang mengalir darinya dibalut dengan air mata kesedihan. Hatiku sakit
mendengar cerita dan melihat air mata itu. Apalagi gerimis di luar sana semakin
mendukung jalannya adegan sedih ini. Dia, gadis di depanku ini harus tahu
betapa berharganya dia dan tak layak disakiti seperti ini.
“Kenapa ya Rio, cerita cintaku
selalu saja seperti ini? Kenapa mereka yang kucintai tak pernah bisa
mencintaiku? Apa aku salah mencintai? Apa aku memang tidak ditakdirkan untuk
mencintai?” tanyanya mengakhiri cerita sedih itu. Ya, si Adrian yang ia bangga
– banggakan itu ternyata jatuh cinta pada asisten Helena yang tak lain tak
bukan adalah sahabat Helena. Dan mereka
tak peduli pada perasaan Helena meskipun mereka mengetahui bahwa Helena
mencintai Adrian.
“Dulu Brian, lalu Arman sekarang
Adrian. Apa mereka janjian untuk tidak mencintaiku? Mereka semua dekat denganku
tapi mereka hanya memanfaatkan kedekatan kami. Brian itu jatuh cintanya pada
lukisan – lukisanku. Otak bisnisnya selalu saja bermain di situ. Sedangkan si
Arman jatuh cinta pada prestasiku di kelas waktu sekolah, dan sekarang si
Adrian jatuh cinta dengan asistenku. Apa – apaan ini?” ujarnya setengah
histeris sambil menutup mukanya.
“Sudah jangan nangis! Mereka nggak
layak dapetin kamu. Kamu berhak dapetin seseorang yang lebih baik. Perempuan
baik untuk lelaki yang baik kan? Lebih baik kamu tahu sekarang daripada setelah
kamu bersama mereka kan?”
“Rio. Kamu kok ngomongnya gitu?”
“Ya aku nggak tega aja lihat kamu
kayak gini. Nangis nggak jelas. Sangat bukan Helena yang biasa kukenal.”
“Riooo…. Kamu kok baik banget!”
huhuuuhu. Tangisnya meledak semakin kencang.
“Sudah dong, jangan makin kenceng
nangisnya. Nanti dikira orang – orang aku yang ngapa-ngapain kamu. Mendingan
sekarang pulang ya..”
“Enggak, aku mau bantu teman – teman
mendekorasi untuk acara besok lusa.”
“Nah gitu dong. Senyum ya.. Besok
lusa malam, aku punya surprise buatmu.
Datang ke performanceku jam 7 di hall.”
Dia tersenyum dan kami kembali ke
kampus bersama.
***
Acara gelar seni telah dibuka sejak
tadi pagi. Rangkaian acara demi acara berjalan dengan lancar dan meriah, hingga
akhirnya tiba penampilan bandku. Helena pun sudah kembali sibuk seperti
biasanya. Sebelum manggung, kami merasakan nervous
sampai tangan kami berkeringat. Setelah berdoa, MC pun memanggil kami. Sorak –
sorai penonton sudah memenuhi hall.
Sepintas kulihat Helena sedang berdiri di dekat panggung dengan baju pink dan
syal putihnya.
“Malam ini saya ingin
mempersembahkan lagu ini untuk seseorang yang spesial di hati saya. Seorang
pelukis muda berbakat yang telah melukis cinta di hati saya.” Penonton pun
semakin riuh. Beginilah posisi band paling menguntungkan, sebagai gitaris yang
merangkap sebagai vokalis. Sebuah lagu dari salah satu grup band favorit saya
dan mungkin juga menjadi favorit teman – teman.
Dan terjadi lagi kisah lama yang
terulang kembali.
Kau terluka lagi dari cinta rumit
yang kau jalani.
Aku ingin kau merasa, kamu mengerti
aku mengerti kamu.
Aku ingin kau sadari cintamu
bukanlah dia.
Reff :
Dengar laraku suara hati ini
memanggil namamu
Karena separuh aku dirimu.
Ku ada di sini pahamilah kau tak
pernah sendiri
Karena aku slalu di dekatmu saat
engkau terjatuh
Aku ingin kau merasa, kamu mengerti
aku mengerti kamu
Aku ingin kau pahami cintamu
bukanlah dia.
Dengar laraku suara hati ini
memanggil namamu
Karena separuh aku
Menyentuh laramu semua lukamu telah
menjadi lirihku
Karena separuh aku dirimu
***
Betapa bodohnya aku, selama ini aku
mengejar impianku, laki – laki yang pesonanya menyilaukanku, namun ternyata
mereka menyakitiku. Jadi Rio, Satrio Adiguna, seorang pemain gitar yang sangat
cuek inilah yang sangat memahamiku. Ia sendiri bodoh, banyak gadis – gadis yang
jatuh cinta padanya dan mereka menatapku curiga karena mengira aku adalah
kekasihnya. Kami sama – sama bodoh. Kami tak pernah menyadari rasa indah itu,
terutama aku. Aku hanya menganggapnya sebagai teman melawan sepi dan tekanan
dalam hidupku. Namun kini aku mampu melihat refleksi diriku padanya, ya karena
separuh aku dirimu, Rio.
Helena
Azalea.
Hatiku semakin hangat membaca pesan
yang masuk ke handphoneku beberapa
saat setelah tampil. Sementara itu, riuh tepuk tangan penonton membahana di hall.
Inspirasi
dari : lagu “Separuh Aku” – NOAH Band
image source ; http://1t4juwita.wordpress.com/tag/gerimis/
mampir...mampir.. wah, suka bikin cerpen rupanya.
ReplyDeletehehehe...iya mbak... :)
ReplyDeletemakasih sudah mampir..