Monday, 17 September 2012

Cinta Dalam Sebaris Gerimis



Dan terjadi lagi kisah lama yang terulang kembali.
Kau terluka lagi dari cinta rumit yang kau jalani.
Aku ingin kau merasa, kamu mengerti aku mengerti kamu.
Entah mengapa setiap terdengar lagu itu, bayangannya selalu muncul. Bergulirlah semua kenangan bersamanya. Semua tawa dan tangis yang mengiringi kedekatan kami beberapa bulan ini. Entah mengapa aku selalu memikirkannya sejak pertama kali ia tersenyum padaku.
Namanya Helena. Namun aku selalu memanggilnya Lena. Aku lebih suka memanggilnya dengan cara yang berbeda dari orang – orang kebanyakan yang selalu memanggilnya Helen. Lena bukanlah gadis yang ramai diperbincangkan teman – teman laki – lakiku, seperti halnya Alexa yang memiliki wajah indo blesteran Mesir – Indonesia ataupun Marina yang manis, putri salah satu konglomerat besar di Indonesia. Lena tak pernah menjadi incaran teman – teman, yang aku tahu sih, meskipun sosoknya cukup terkenal berseliweran di fakultasku dengan pameran lukisannya. Sampai saat ini aku tak pernah melihatnya berjalan dengan seorang cowok. Kalau tidak sendirian, biasanya ia beramai – ramai dengan teman – temannya. Lena, menurutku sosok yang ramah, disenangi oleh teman – teman dan juga dosennya. Prestasi akademik maupun non-akademiknya pun seimbang, sering ia masuk jajaran mahasiswa berprestasi. Lena tidak terlalu cantik secara fisik, namun bagiku ia memiliki inner beauty yang mampu menghipnotisku. Menerbangkan angan – anganku sampai ke awan dan membuat detak jantungku tidak karuan saat berdekatan dengannya. Lena, begitu istimewanya dia di mataku, namun sepertinya ia tak pernah menyadari hal itu.
***
3 bulan yang lalu,
Siang itu hujan mengguyur fakultasku dengan derasnya. Aku yang baru saja sampai di parkiran fakultas harus berlari agar tak terlambat sampai di kelas. Gawat saja kalau terlambat, siang ini aku ada jadwal UAS dengan dosenku yang terkenal killer. Aku tidak peduli butiran hujan yang menerpa wajahku. Aku terkejut beberapa saat kemudian. Sebuah payung berwarna ungu menutupi rambutku dari guyuran hujan. Seorang gadis berkacamata bermata sipit berkulit kuning langsat tersenyum ke arahku sambil terus berusaha memayungiku. Siapa gadis ini? Sepertinya aku tak pernah mengenalnya. Entahlah, mungkin aku terlalu cuek sehingga tidak terlalu memperhatikan teman – teman yang berbeda kelas atau jurusan denganku.
“Makasih ya,” ucapku ketika sampai di pintu fakultas.
“Sama – sama. Jangan lupa bawa payung saat musim hujan seperti ini,” balasnya sambil menutup lalu melipat payungnya.
“Sepertinya kita belum saling kenal? Siapa namamu?”
Dia mendongak sambil mengerutkan dahi. “Oh ya? Hmm.. aku Helena.”
“Satrio. Panggil Rio aja,” ucapku sambil berjabat tangan. “Jurusan apa?”
“Seni rupa. Kamu pasti seni musik ya?”
“Kok tahu?” tanyaku dengan bodohnya.      
“Aku nonton konsermu minggu lalu. Permainan gitarmu bagus.”
Astagaaa…baru kali ini aku mendengar pujian yang tulus dan jujur.  Belum sempat aku berkata – kata lagi, ia mengakhiri perbincangan singkat kami dan berbelok ke arah kelas seni rupa sambil tersenyum.
“Maaaaa..kasih.” Hanya itu yang terlontar dari mulutku. Senyumnya ….. tertinggal di hatiku hingga beberapa bulan kemudian. Sementara hujan deras di luar telah menjadi barisan gerimis yang membuat getaran hatiku terdengar lebih kencang.
***
“Riooooo….” Ia berlari ke arahku dengan semangat.
“Hei.. gimana lombanya kemarin? Sukses?” tanyaku.
“Aku juara 1 Rio! Aku seneng banget!” Ia berseru kegirangan.
“Wah selamat yaaa… Master!” ucapku sambil mengacak – acak rambutnya yang ikal. “Traktir dong!”
“Pasti! Oh ya, di sana aku juga ketemu sama gebetanku lhooo...si Adrian itu.”
Jleb! Eh, apa ini yaa? Kok tiba – tiba ada yang sakit di dalam hati. Ah..apaan sih Rio! Batinku. Sejak perkenalan saat hujan deras itu, hubunganku dan Helen memang cukup dekat.
“Gara – gara aku menang kontes melukis itu, dia ngajak aku ngobrol banyak hal. Dia orangnya asyik banget. Bahkan katanya juga mau ngajak aku bergabung di pamerannya bulan depan lho.” Mata sipit itu berkilat – kilat tanda ia sangat berapi – api.
“Oh..jadi cuma ini oleh – olehnya dari Tokyo?” tanganku mengambil gitar dan mulai mengalihkan perhatian.
“Enggaklah. Nih aku bawain kamu 1 set miniatur menara Tokyo.”
“Siapa yang minta itu?”
“Kamu kan?”
“Bukan. Aku kan mintanya 1 set miniature alat musik tradisional Jepang? Gimana sih Len?”
“Lho..trus siapa dong yang minta ini?” Wajahnya mengkerut sambil melihat check list oleh – olehnya. “Astaga…ini pesenan oleh – oleh kakek. Yo, maaf ya..aku lupa,” ucapnya sambil meringis dan menggaruk – nggaruk kepalanya.
“Ya udah nggak papa deh, nenek Helena. Lihat nenek sampai di Indonesia dengan selamat dan bawa trophy juara 1 aja udah jadi oleh – oleh spesial buat aku.”
“Huaaaaaa…Rioooooo!!!” Dijitaknya kepalaku berkali – kali sambil tertawa – tawa. Gadis ini memang luar biasa, batinku tersenyum menatap hasil lukisannya yang berjudul “The Dream comes true”. Yes, your dream comes true Lena.
             Kriiiinggg….
            “Hallo.. Iya Adrian!” Wajah Lena berbinar – binar mendapat telepon dari Adrian. Ia pun pamit pergi.
            Maybe my dream is still waiting for becoming true. Aku pun tersenyum sambil memandangi sosok gadis pelukis yang telah menancapkan coretan kuas merah mudanya itu di kanvas hatiku.
                                                                                    ***
            “Yo, denger – denger lo lagi deket ama si Helen ya? Lo suka ya ama si Helen?”    
            Hukkkkhhuuukk….
            Pertanyaan Ody barusan membuatku tersedak. Gila aja nih anak nanya nggak lihat – lihat kondisi. Orang lagi minum juga. “Emang kenapa?”
            “Beneran? Lo nggak bercanda kan?”
            “Apaan sih lo kepo banget! Mau tau aja!”
            “Wah berarti serius nih anak. Kenapa nggak lo tembak aja sekalian? Si Helen sejak pulang dari Tokyo banyak dibicarain tuh sama cowok – cowok.”
            “Terus kenapa? Dia lagi suka ama cowok lain bro. Pelukis juga. Ya biarin aja. Emang gue suka si Lena dari dulu kok sebelum dia jadi setenar sekarang.”
            “Buset dah! Ya nggak papa lagi. Selama mereka berdua belum jadian, lo duluin aja. Kalian kan kompak banget tuh. Sebelum dia diembat orang.”
            “Tujuan lo Dy? Lo suka ama si Lena juga?”
            “Enak aja lo! Nggak. Helena itu bukan tipe gue banget. Dia itu standarnya tinggi kelihatannya. Sukanya ngatur – ngatur. Dia kan ketua apa tuh? Kumpulannya anak – anak seni rupa gitu.”
            “Hahahaha… tapi dia nggak pernah sok ngatur tuh kalo ama gue. Ya professional lah bro. Itu yang gue suka dari dia. Mandiri. Kreatif dan selalu bisa diandalkan saat dia berada di komunitasnya. Makanya nggak heran prestasinya oke banget!”
            “Ya udah makanya cepet – cepet tuh. Sebelum lo nyesel.”
            Perbincangan diakhiri dengan dicomotnya potongan pizza terakhirku yang menyebabkan dimulainya battle game online. Perbincangan dengan Ody barusan membuat hatiku terasa gamang.
                                                                                    ***
            Hari – hari di kampus terasa sedikit hampa. Musim UAS kembali menyapa. Proyek akhir semakin menumpuk. Kesibukan di akhir semester sedikit merenggangkan hubunganku dengan Lena. Entah dia juga sepertinya sedang sibuk dengan ujiannya dan juga persiapan acara gelar seni kolaborasi menyambut ulang tahun Fakultas Seni ini. Petikan senar gitarku akan ikut tampil untuk memeriahkannya bersama homeband fakultas.
                                                                                    ***
            Acara Gelar seni semakin dekat. Kurang 3 hari lagi. Semua orang sibuk mempersiapkannya. Mereka semua kompak untuk mempersiapkan pameran, stand dan penampilan terbaik dari jurusan mereka masing – masing. Gelar seni tahun ini merupakan proyek akhir kolaborasi angkatan kami. Semua cabang seni ada di sini. Acara yang digelar selama seminggu ini juga menjadi agenda wajib dikunjungi bagi pecinta seni dari berbagai kota di Indonesia. Oleh karena itulah, sebagai mahasiswa seni musik kami harus berlatih secara maksimal.  
            krrrrriiiiing! Handphoneku berbunyi cukup nyaring.
            “Rio! Kamu di mana?”
            Suara yang biasanya terdengar cempreng dan ceria itu berubah menjadi berat dan sedih. Pasti ada yang tidak beres dengan manusia satu ini.
            “Kenapa Len? Aku lagi di studio. Lagi latihan dengan teman – teman. Kamu kenapa?”
            “Hmmm.. ya udah deh. Maaf mengganggu.” Klik. Helena mematikan sambungan teleponnya terdengar serak menahan air mata di sana.
            “Halo..Len…Lena!” Perasaanku tidak enak, entah ada yang terjadi dengan gadis itu. Aku meminta izin pada teman – teman grup bandku untuk break hari ini. Beruntung mereka mengizinkan. Segera kutenteng tas gitarku dan menyambar satria biruku. Aku tahu ke mana harus mencarinya. Kedai es krim. Tempat favoritnya kala galau melandanya. Dan ia akan memesan 1 gelas es krim coklat serta tiramisu. Benar saja, sosok itu menatap sedih keluar jendela sambil sesekali menyendok es krim coklatnya.
            “Len.”
            Seperti tahu akan kedatanganku, ia tidak terkejut. Ia tersenyum padaku. “Aku tahu kamu pasti akan datang ke sini,” jawabnya.
            Sore itu langit cukup mendung. Cerita yang mengalir darinya dibalut dengan air mata kesedihan. Hatiku sakit mendengar cerita dan melihat air mata itu. Apalagi gerimis di luar sana semakin mendukung jalannya adegan sedih ini. Dia, gadis di depanku ini harus tahu betapa berharganya dia dan tak layak disakiti seperti ini.
            “Kenapa ya Rio, cerita cintaku selalu saja seperti ini? Kenapa mereka yang kucintai tak pernah bisa mencintaiku? Apa aku salah mencintai? Apa aku memang tidak ditakdirkan untuk mencintai?” tanyanya mengakhiri cerita sedih itu. Ya, si Adrian yang ia bangga – banggakan itu ternyata jatuh cinta pada asisten Helena yang tak lain tak bukan adalah sahabat  Helena. Dan mereka tak peduli pada perasaan Helena meskipun mereka mengetahui bahwa Helena mencintai Adrian.
            “Dulu Brian, lalu Arman sekarang Adrian. Apa mereka janjian untuk tidak mencintaiku? Mereka semua dekat denganku tapi mereka hanya memanfaatkan kedekatan kami. Brian itu jatuh cintanya pada lukisan – lukisanku. Otak bisnisnya selalu saja bermain di situ. Sedangkan si Arman jatuh cinta pada prestasiku di kelas waktu sekolah, dan sekarang si Adrian jatuh cinta dengan asistenku. Apa – apaan ini?” ujarnya setengah histeris sambil menutup mukanya.
            “Sudah jangan nangis! Mereka nggak layak dapetin kamu. Kamu berhak dapetin seseorang yang lebih baik. Perempuan baik untuk lelaki yang baik kan? Lebih baik kamu tahu sekarang daripada setelah kamu bersama mereka kan?”
            “Rio. Kamu kok ngomongnya gitu?”
            “Ya aku nggak tega aja lihat kamu kayak gini. Nangis nggak jelas. Sangat bukan Helena yang biasa kukenal.”
            “Riooo…. Kamu kok baik banget!” huhuuuhu. Tangisnya meledak semakin kencang.
            “Sudah dong, jangan makin kenceng nangisnya. Nanti dikira orang – orang aku yang ngapa-ngapain kamu. Mendingan sekarang pulang ya..”
            “Enggak, aku mau bantu teman – teman mendekorasi untuk acara besok lusa.”
            “Nah gitu dong. Senyum ya.. Besok lusa malam, aku punya surprise buatmu. Datang ke performanceku jam 7 di hall.”
            Dia tersenyum dan kami kembali ke kampus bersama.
                                                                                    ***
            Acara gelar seni telah dibuka sejak tadi pagi. Rangkaian acara demi acara berjalan dengan lancar dan meriah, hingga akhirnya tiba penampilan bandku. Helena pun sudah kembali sibuk seperti biasanya. Sebelum manggung, kami merasakan nervous sampai tangan kami berkeringat. Setelah berdoa, MC pun memanggil kami. Sorak – sorai penonton sudah memenuhi hall. Sepintas kulihat Helena sedang berdiri di dekat panggung dengan baju pink dan syal putihnya.
            “Malam ini saya ingin mempersembahkan lagu ini untuk seseorang yang spesial di hati saya. Seorang pelukis muda berbakat yang telah melukis cinta di hati saya.” Penonton pun semakin riuh. Beginilah posisi band paling menguntungkan, sebagai gitaris yang merangkap sebagai vokalis. Sebuah lagu dari salah satu grup band favorit saya dan mungkin juga menjadi favorit teman – teman.
Dan terjadi lagi kisah lama yang terulang kembali.
Kau terluka lagi dari cinta rumit yang kau jalani.
Aku ingin kau merasa, kamu mengerti aku mengerti kamu.
Aku ingin kau sadari cintamu bukanlah dia.
Reff :
Dengar laraku suara hati ini memanggil namamu
Karena separuh aku dirimu.
Ku ada di sini pahamilah kau tak pernah sendiri
Karena aku slalu di dekatmu saat engkau terjatuh
Aku ingin kau merasa, kamu mengerti aku mengerti kamu
Aku ingin kau pahami cintamu bukanlah dia.
Dengar laraku suara hati ini memanggil namamu
Karena separuh aku
Menyentuh laramu semua lukamu telah menjadi lirihku
Karena separuh aku dirimu
                                                                                    ***
            Betapa bodohnya aku, selama ini aku mengejar impianku, laki – laki yang pesonanya menyilaukanku, namun ternyata mereka menyakitiku. Jadi Rio, Satrio Adiguna, seorang pemain gitar yang sangat cuek inilah yang sangat memahamiku. Ia sendiri bodoh, banyak gadis – gadis yang jatuh cinta padanya dan mereka menatapku curiga karena mengira aku adalah kekasihnya. Kami sama – sama bodoh. Kami tak pernah menyadari rasa indah itu, terutama aku. Aku hanya menganggapnya sebagai teman melawan sepi dan tekanan dalam hidupku. Namun kini aku mampu melihat refleksi diriku padanya, ya karena separuh aku dirimu, Rio. 
Helena Azalea.
            Hatiku semakin hangat membaca pesan yang masuk ke handphoneku beberapa saat setelah tampil. Sementara itu, riuh tepuk tangan penonton membahana di hall.
Inspirasi dari : lagu “Separuh Aku” – NOAH Band
image source ; http://1t4juwita.wordpress.com/tag/gerimis/

2 comments: