Monday, 23 December 2013

Fragmen Hujan Episode Halte Bis



Gerimis masih akrab dengan sore.
Mendung murung tak kunjung sirna.
Seorang anak laki-laki menyeberang halte terminal.  
Wajahnya lelah.
Tas ransel tersampir di pundaknya
Sepatu kets kaus kaki putih membungkus kakinya yang tertatih
Di tangannya, setoples uang logam terkumpul
Bergemerincing saling beradu
Ia berjalan terburu-buru
Menuju becak yang baru saja kutumpangi
Hujan masih turun
Wajah anak itu menandakan hal yang kontras
Ia tak seperti halnya yang terlihat
Ia orang dewasa yang terperangkap dalam raga anak-anak
Ia memaksa menaiki becak
Orang-orang di halte memperhatikannya
Pak becak terlihat enggan mengangkutnya
Pak becak memarahinya
Menyuruhnya turun
Ia tetap tak mau turun
Ia bersikeras untuk duduk
Pak becak mengatakan ia tak punya uang
Ia memberontak, “Aku punya uang”
Dikeluarkannya toples berisi uang logam itu
Pak becak masih tak mau
Ia bilang uang itu tak cukup untuk mengantarkannya
Ke tempat tujuan
Pak becak bersitegang dengan si anak
Beberapa orang membantu pak becak menurunkan si anak
Si anak, tak ada yang menolong
Usahanya bertahan sia-sia
Pak becak marah-marah dalam basah kuyup
ia memilih pergi mencari pelanggan lain
si anak ditinggalkan
ia berjalan sambil menggerutu
tak tentu
bis yang kutunggu datang
si anak menghilang
entah pergi ke mana
entah pulang ke mana
ia seorang diri
orang-orang tak ada yang mau mengerti
atau memilih untuk diam mengamati
mengasihani dalam hati
Dan hujan...
Ia masih saja terus turun
Bersama cerita yang terus bergulir

23122013

Thursday, 21 November 2013

Melankolia Senja dan Lautan


Tahukah kau mengapa aku sangat mengagumi senja? Terutama senja yang terlukis di atas horison lautan. Senja pertama yang pernah kita nikmati bersama. Dan kuharap itu bukan senja yang terakhir.

Masih jelas dalam ingatanku, kala itu kau sedang asyik duduk seorang diri di tepi pantai beralaskan pasir. Hari sudah sore. Angin laut bertiup menggiring nelayan pulang ke daratan. Air laut pun sudah mulai pasang. Burung-burung beterbangan kembali pulang ke sarang sambil mengucapkan salam perpisahan pada keperkasaan raja siang.

Aku menghentikan langkahku dan ingin memandangi sosokmu dari kejauhan. Raut wajahmu terlihat sendu. Senada dengan wajah langit sore ini yang mendung kelabu. Pandanganmu lurus menatap ke cakrawala. Hanya gumpalan awan yang menyambut tatapan sendumu.

Sedang apa kau sendiri di sini?” tanyaku. Tiba-tiba saja aku ingin mendekatinya.

“Menanti senja,” jawabmu singkat.

“Senja tak akan datang sore ini. Lihat! Di sana awan mendung. Langit sudah hampir gelap. Segeralah pulang. Keluargamu akan khawatir jika tak mendapatimu di rumah menjelang hari gelap.”

Kau menatapku dengan tajam dan sinis. “Pergi saja dulu. Aku sedang ingin sendiri. Kau tak pernah tahu rasanya ditinggal sendirian bukan?” Lalu kau tertawa.

Aku semakin penasaran denganmu. Mengapa kauberani berkata seperti itu padaku?

“Aku yakin senja akan datang. Kalau tidak hari ini, mungkin besok. Ia sudah berjanji padaku. Ia akan datang.”

“Terserah kau sajalah. Aku sudah mengingatkanmu, mustahil senja akan hadir pada cuaca seperti ini. Kau terlalu berharap.” Aku pun melangkah dengan gontai meninggalkanmu seorang diri. Tak berapa lama, aku mendengar suara isak tangis. Kulihat kau sedang menangis sesenggukan. Entah apa yang kau pikirkan hingga menangis seperti itu. Gadis yang aneh. Namun aku juga merasakan keanehan dalam diriku. Tiba-tiba saja aku kembali ke sebelahmu sambil mengulurkan sebuah tissu. Kau ambil tissu tersebut lalu pergi begitu saja meninggalkanku tanpa mengucapkan sedikitpun terima kasih.

Aku kembali memandang lepas ke lautan seraya berbisik, dalamnya lautan bisa diselami, dalamnya hati wanita siapa yang tahu. Ku ambil peralatan menyelam yang sejak tadi ku letakkan begitu saja di bawah pohon kelapa. Angin malam semakin terasa ngilu menggigit kulit.  Sesaat kemudian, gerimis mengguyur pantai ini.

***

 Sore yang berbeda, masih di pantai yang sama.
Langit tampak cerah. Kontras dengan cuaca kemarin yang kelabu, kini semua tampak lebih ceria. Sore itu, aku menangkap senja yang mulai terlukis di cakrawala. Aku segera berlari ke arah tepi pantai. Benar saja dugaanku, kau telah stand by di sana layaknya fans yang telah siap menyambut kedatangan artis idolanya. Tak seperti kemarin, kau kini tersenyum bahagia, dan matamu berbinar-binar penuh kekaguman.  Aku tersihir oleh pesonamu. Kau, senja,dan lautan sore ini adalah lukisan dengan komposisi yang sempurna. Sayang aku tak dapat mengabadikannya dengan kamera. Kedua mataku adalah kamera pemberian Tuhan yang tiada duanya. Iya, kurekam baik-baik lukisan di depanku ini. Aku adalah penonton. Penonton yang setia menungguimu bercengkrama bersama senja yang kau nanti-nantikan sejak kemarin.

“Akhirnya senja yang kau nanti datang juga,” celetukku kala ia menoleh padaku. Mungkin kau  merasa ada yang memperhatikan.

“Ya. Senja menepati janjinya.”

Aku dan kau kini duduk bersebelahan menyaksikan senja yang indah. Awan berarak berwarna merah jingga dan kuning. Air laut merefleksikan lukisan tersebut di permukaannya. Burung-burung laut mulai pulang ke sarang. Namun senja masih enggan beranjak dari hadapan kita. Kita berbicara dalam diam. Dalam bahasa yang aku dan kau sama-sama tahu, bahasa sunyi. Kau sibuk dengan imajinasi dalam kepalamu. Sedangkan aku sibuk meredam genderang dalam hatiku yang aku khawatir kau akan mendengarnya dalam jarak duduk kita yang hanya terhalang sandalmu.  Tak ada suara ombak yang mengiringi perbincangan kita, demikian juga dengan nyanyian burung . Kita pun larut dalam kesyahduan alam. Tanpa terasa aku ingin saat itu waktu bisa membeku.

“Mengapa kau suka senja?” tanyaku akhirnya memecah lamunannya.

Ia menoleh sambil tersenyum. “Aku dilahirkan bersama senja. Mereka meninggalkanku pun bersama senja. Setiap hari, hanya dengan menatap senja aku merasa tak lagi sendiri. Aku merasa lebih hidup saat bersama senja. Namun sayang, senja hanya hadir sebentar. Lalu malam yang kelam menghampiri dan membuatku sendiri lagi. Ia yang berjanji menjemputku akan datang saat senja, namun tak pernah sekalipun ia datang. Hanya senja yang menepati janjinya, meski terkadang ia absen, seperti kemarin.”

Hatiku ikut terenyuh. Kau tampak kesepian. Apakah kau memang benar-benar sendirian? Aku masih menyimpan banyak pertanyaan dalam benakku. Namun ternyata senja ingin segera pamit. Langit mulai tampak menggelap. Mentari mulai tertelan horizon cakrawala. Ia masih harus melaksanakan tugasnya menyinari bagian lain bumi ini. Menghangatkan hati-hati yang sepi. Seperti hatimu.

“Kau mau ke mana? Bolehkah aku ikut denganmu?”

“Aku mau pulang. Jangan ikuti aku.”

“Apakah besok kau akan datang lagi ke sini?”

“Entahlah. Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi besok. Aku takut aku tak bisa menepati janji untuk datang ke sini lagi. Jangan pernah menantiku."

Aku tertegun dengan pernyataannya barusan.

“Aku akan menantimu esok,” ujarku keukeuh.

Kau menoleh padaku. Memandangi wajahku dengan tatapan sendumu. Lalu kau tersenyum. 

“Kalau begitu jangan pernah merasa kecewa jika kau telah berani berharap. Jika aku tak datang, jangan pernah mencariku atau menungguku. Jika aku datang, mungkin takdir berpihak pada kita. Terima kasih atas tissunya kemarin.”

Tiba-tiba sebuah perasaan menyeruak ke dalam hatiku. Entah perasaan macam apa aku tak pernah menyadarinya. Seperti takut akan kehilanganmu untuk waktu yang tak pernah ku tahu.

Kau pun segera berbalik badan, kembali ke arah kau datang tadi.

“Tunggu, siapa namamu?”

Kau menghentikan langkahmu, “Namaku berarti senja. Namamu berarti lautan kan ?” ujarmu sambil tersenyum manis.

“Bagaimana kau tahu namaku? Aku belum memperkenalkan diri. Kita baru kemarin bertemu.”
Kau sungguh membuatku bingung kala itu.

“Sudahlah, aku tahu. Aku tahu tanpa kau harus tahu. Aku pulang dulu.”

Kau meninggalkanku yang sedang bingung seorang diri. Aku merasa telah dicurangi. 1-0 untukmu. Tunggu saja akan kubalas esok.

***

Tak ingin kalah darimu, aku mencari tahu tentangmu. Bertanya pada penduduk sekitar. Akhirnya kutahu, namamu Ina. Ina dalam bahasa sansekerta berarti matahari pagi atau senja. Seperti katamu kemarin. Baru kutahu juga, kau tinggal bersama ibumu, berdua saja di rumah sederhana. Kata mereka, kau adalah orang yang pendiam namun sangat baik. Kau jarang sekali keluar rumah kecuali saat pagi buta dan sore menjelang senja. Kau sibukkan hari-harimu dengan merawat ibumu yang sakit dan menjahit pakaian untuk menyambung hidup. Seorang anak kecil memberi tahuku bahwa ia seringkali melihatmu di tepi pantai saat senja. Ternyata ritualmu itu memang kau lakukan sejak lama. Baiklah, sore ini aku tak akan kalah darimu. Kubawa kamera digitalku bersama tripodnya untuk mengabadikan senja sore nanti. Cuaca hari ini cerah, kuharap kan seperti kemarin. Hari ini aku memang mempersiapkan diri untuk bertemu denganmu. Deg-degan juga ya menunggumu di sini.

Senja mulai menampakkan rupanya. Kali ini lebih indah dari senja kemarin. Namun kau tak jua muncul di sini. Untuk mengusir rasa bosan karena menunggu, aku abadikan lukisan alam ini dengan kameraku. Ina...kenapa kau lama sekali.

Lama-lama aku bosan menunggumu. Di tengah kebosanan itu, tiba-tiba aku teringat kata-katamu kemarin. “Jangan menungguku.” Apakah kau benar-benar tak datang sore ini? Bukankah senja ini yang selalu kau tunggu-tunggu? Apakah ia yang berjanji akan menjemputmu saat senja telah menepati janjinya? Lalu kau mematahkan harapanku untuk kembali bertemu denganmu?

Seorang anak yang kutemui tadi, tiba-tiba mendapatiku di tempat kuberdiri saat ini. Ia bilang, kau dan ibumu telah pergi. Entah ke mana. Katanya seseorang telah datang dengan mobil pajero putih untuk menjemput mereka. Tak ada satupun tetangga yang tahu ke mana perginya dirimu.

Hatiku seperti ada yang hilang. Hilang bersama ketidakhadiranmu di sini. Hilang bersama harapanku yang kau patahkan, untuk melihat senja yang indah ini sekali lagi bersamamu. Mungkin memang benar katamu, aku tak perlu banyak berharap untuk bisa menemuimu lagi.

Senja dan lautan di hadapanku kini, pelan-pelan mulai berbincang padaku. Ada pesan yang ia sampaikan padaku. Pesan yang mereka dapatkan darimu kemarin. Mereka bilang, kau menitipkan salam untukku. Menitipkan lagu perpisahan. Menitipkan melankolia ini.

Entah kenapa aku hanya ingin menunggumu. Menunggumu yang entah kapan akan kembali ke sini. Atau mungkin, suatu hari nanti kita akan bertemu di pantai yang lain, pada senja yang lain. Seperti katamu kemarin, jika kita bertemu lagi, mungkin takdir berpihak pada kita. Pada senja dan laut. Seperti halnya senja yang menghampiri, pertemuan kita yang teramat singkat, membuatku ingin mengenangmu dan menghargai setiap perjalanan yang kulalui ini.

 “Bipbipbipbip..”

Suara ponsel dalam tasku menghentikan lamunanku. Sebuah pesan masuk.

“Samudera, sampai mana perkembangan novelmu? Kalau bisa bulan ini selesai ya. Can’t wait to read your  crazy thought. Hohoho :p”

 Pesan dari editor novelku yang cerewet. Hmm… waktuku di sini hampir habis. Saatnya kembali ke rutinitas semula.

“As soon as possible. You will get melancholic touch on my next project. See you. Maluku benar-benar membuatku terpesona dan tak ingin pulang. You must visit this place someday. Hahaha.”

Aku kembali berdiri di tepi pantai ini. Mengucapkan salam perpisahan sekaligus terima kasih padamu, gadis senja misterius, pada senja, pada lautan yang namanya dititipkan pada namaku, pada langit merah dan awan berarak, pada takdir, padaNya yang mempertemukan kita, di suatu senja di tempatku berpijak. Harapanku kini kembali cerah, secerah senja di hadapanku.  Semoga kita bertemu lagi. 

Suatu hari nanti.

21112013
photo from Ryan Rinaldy                                         https://www.facebook.com/photo.php?fbid=698076640210813&set=a.161849440500205.31907.100000254507075&type=1&theater

Friday, 28 June 2013

Sekeping Misteri dan Jawaban Tentang Pencarian

Hidup ini terlalu unik untuk disebut sebagai kebetulan.

Sebuah cerita menarik tentang misteri pencarian yang aku alami. Awal semester 8, aku mencari sebuah buku dongeng yang salah satunya akan kugunakan sebagai objek skripsi yakni "Dongeng Si Penjual Kucing" cerita rakyat dari madura. Buku tersebut berjudul "Dongeng Rakyat 33 Provinsi dari Aceh sampai Papua" karya Dea Rosa. Aku menemukannya di google books, namun ketika kuunduh, buku itu hanya sebagian, tidak termasuk cerita yang aku cari.

Hari demi hari kucari buku tersebut, menyisir toko buku besar, toko buku bekas, perpustakaan, sampai toko online pun tak kunjung kutemukan buku yang kumaksud. Setelah jenuh, ke sana ke mari, aku pun menanyakan pada penerbitnya via email. Dia bilang stok bukunya tinggal satu. Katanya orang dari penerbit akan ke malang dan membawakan buku tersebut. Aku senang. Setelah bertemu, akupun menyadari bahwa buku tersebut bukanlah yang kumaksud. Memang penulisnya sama, namun kontennya berbeda. Tak ada dongeng yang kucari. Namun kemudian, ia memberikan saja buku yang salah ia bawa itu padaku secara cuma-cuma.Lumayanlah..buat koleksi perpustakaanku. hehehe.Kemudian beliau pun memberiku kontak penulisnya. Beliau yang baik itu juga sempat menawariku untuk menulis buku di penerbitnya, namun tentu saja bukan buku fiksi, dan aku belum berminat untuk menulis buku non-fiksi. Mungkin lain waktu :)


gara-gara buku ini :)

Aku pun segera menghubungi penulisnya. Ia pun berterima kasih karena aku mengapresiasi salah satu karya tulisnya. Namun ternyata penulisnya pun tak memiliki stok buku itu. Aku pun menyerah. Ya sudah. tak mengapa, toh aku telah membaca ceritanya di google books. Cuma kalau ada bukti fisiknya, karya tersebut kan bisa lebih valid sebagai obyek penelitian.

Hingga suatu hari, aku sudah tak terlalu mempedulikannya. Perhatianku tersita pada pencarian buku-buku referensi untuk mendukung penelitian studi pustakaku. Beberapa bulan kemudian, tepatnya kemarin, 27 Juni, aku pergi ke perpustakaan kota. Tiba-tiba mataku menangkap sebuah judul sampul dan buku yang tampak tak asing lagi di kepalaku. NAH!!! Ini dia buku yang kucari-cari sejak dulu, nyatanya sekarang ketika aku mencari buku yang lainnya, ia malah dengan santainya bertengger rapi di deretan buku-buku dongeng. Aku pun tertawa mengingat ke belakang. Memang yaa..tak ada yang sia-sia dengan pencarian selama ini, mungkin memang tak selalu cepat dan langsung ketemu, mungkin jalan pertemuannya memang harus memutar, menggelinding, membentur dan lain-lain. Sampai akhirnya kerelaan untuk melepaskan dan tak menghiraukannya justru membawaku untuk bertemu dengannya.

Hei, tiba-tiba aku menyadari sesuatu. Oke, pencarian ini mungkin hanya terlihat simpel, sederhana, dan yah..cuma masalah buku. Tapi buku itu memang penting bagiku. Sehari sebelumnya aku sempat memposting beberapa kalimat quote seperti ini :

Happiness is like a butterfly.
The more you chase it, the more it eludes you.
But if you turn your attention to other things,
It comes and sits softly on your shoulder.
– Henry David Thoreau
Don’t chase happiness, it will come by itself when you least expect it.
You could also change the word happiness for love and the same would be true.
If you chase love, it will run away from you.
If you continue with your life without the desperation of looking for love (or happiness), you’ll find it will eventually come along when you least expect it.

-from http://www.quotes.cl/happiness-is-like-a-butterfly-thoreau/

Ya, ini sama saja kan kasusnya, hanya mungkin perbedaan itu terletak pada obyek pencariannya saja.
hmmmm..aku jadi berpikir, apakah hal ini juga berlaku untuk jodoh? Sesuatu yang selalu dan terlalu terasa misterius bagiku. hahahaha. entahlah. Mungkin kita bisa menjawabnya jika kita telah menemukannya lalu kita melihat kembali masa lalu. Seperti cerita beralur mundur.Seperti halnya kepingan mozaik cerita Edensor yang ditulis Andrea Hirata yang menjadi salah satu buku favoritku :) Inilah sekeping mozaik cerita hidupku, seperti juga saat pertemuan singkatku denganmu di suatu waktu di masa lalu itu yang menjelma menjadi kenangan untuk saat ini.

Teruntuk masa depanku di seberang sana, aku punya harapan, dan kuyakin harapan itu kan menjadi penyala dalam perjalananku melewati waktu menuju masa depan yang kadang terasa gelap dan samar-samar.
Semoga mentari esok kan bersinar lebih cerah. :)

28062013

Saturday, 22 June 2013

Bocah Ilang dan Pelajaran Berharga di Penghujung 21 tahun

Perjalanan menarik tak melulu harus jauh, tak harus menghabiskan banyak uang. Perjalanan menarik tak harus bertujuan untuk berwisata. Perjalanan menarik bagiku adalah perjalanan di mana aku mengalami pengalaman yang belum pernah kurasakan, menarik pelajaran darinya dan yang terpenting adalah mampu bercerita, berbagi dengan teman-teman, baik secara tertulis maupun bercerita secara langsung. Perjalanan menarik juga tak harus selalu memberikan kesan indah dan mempesona, bercerita tentang keeksotisan alam, terkadang menertawakan kebodohan selama perjalanan juga mampu menjadi cerita menarik.

Cerita ini berawal dari kenekatanku mengikuti ujian DELF (tes TOEFL bahasa Prancis) yang dilaksanakan di IFI (Institut Francais Indonesia) Surabaya. Biasanya aku mengikuti ujian ini bersama teman-teman sejurusan, namun kali ini aku harus berangkat sendiri karena gagal merayu teman-teman untuk ikut. Awalnya aku takut, ujian kali mungkin akan terasa sulit mengingat latihannya saja sudah membuat kepala puyeng. Aku pun ragu-ragu untuk mengikutinya, apalagi biaya tes yang saat itu terasa cukup mahal, membuat nyaliku menciut. Namun tekadku kembali menyala ketika melihat Dream Book yang ku buat ketika pelajaran kewirausahaan semester lalu yaitu ingin mendapatkan ijazah DELF B2 pada bulan April nanti. Berangkatlah aku ke Surabaya sore hari tanggal 20 Maret naik kereta api penataran. Ini merupakan pengalaman pertamaku naik kereta api sendirian ke luar kota, maklum biasanya aku selalu ada teman perjalanan, tapi tidak untuk kali ini. Sebelum berangkat aku merasa deg-degan, bukan karena pergi sendirian, tapi karena ujian DELF keesokan harinya yang terasa amat menyeramkan meskipun aku sudah belajar baik secara mandiri maupun dengan partner conversation untuk tes lisan.

Di Surabaya aku menginap di kos Mbak Norma, teman dari UNNES yang saat ini menjadi pengajar di IFI Surabaya. Perkenalan kami bermula berkat kegiatan multikomparasi IMASPI 2010 yang diadakan di UB dan hingga kini berlanjut semakin dekat bagai saudara. Malam itu aku sampai di stasiun wonokromo lalu dijemput mas Dedy, salah satu teman yang juga mengajar di IFI.  Aku mampir sebentar ke IFI Surabaya menunggu Mbak Norma selesai mengajar. Sembari menunggu, aku menonton tv di lobby dengan channel tv5 dan duduk di depan ruangan kelas sambil memperhatikan para professeurs yang sedang mengajar kelas malam. Aku berusaha sedikit-sedikit menangkap apa yang sedang disampaikan si pembaca berita di tv5, hitung-hitung belajar listening yang memang menjadi momok tersendiri buatku.

Keesokan paginya, 21 Maret 2013, aku belajar sejenak untuk persiapan. Anehnya, ketika sampai di tempat tes, aku tidak terlalu grogi, tidak seperti tes-tes sebelumnya. Mungkin karena aku sudah akrab dengan tempatnya dan para pengujinya karena formation pédagogique tahun lalu. Tahap demi tahap tes terlewati, tes listening yang paling menakutkan itupun kulewati dengan pasrah, jawaban yang kutuliskan itu sebagian besar itu hanya perkiraan. 3 tahap ujian lainnya kulewati dengan cukup baik. Bahkan ketika tahap speaking aku senang sekali mendapat tema yang aku sukai, yakni tentang pemuda dan perjalanan « Le voyage ». Latihan speaking dan debat bersama tami selama beberapa kali membuatku cukup lancar mengutarakan pendapatku dan menjawab pertanyaan dari penguji yang kebetulan sudah kukenal baik, sehingga aku tidak terlalu gugup saat menghadapinya. Namun soal hasil, entahlah. Aku pasrah.

Setelah menjalani ujian yang cukup berat, tiba-tiba sebuah ujian lainnya datang. Ponsel yang kutaruh di tas, jatuh ke dalam air dalam bak di toilet musholla. Jangan tanya kenapa itu bisa terjadi karena kenyataannya memang sudah terjadi. Ponsel tersebut benar-benar mati dan tidak bisa digunakan karena air masuk ke dalam bagian mesin ponsel. Aku pun panik dan badanku lemas seketika mengetahui hal itu di samping alasan kelaparan. Seusai mengisi perut aku menuju mediatek untuk menghabiskan waktu sebelum jadwal keberangkatan kereta pulang. Perut yang kenyang, pikiran yang lelah serta alunan musik lembut yang dipadu dengan ketenangan suasana mediatek telah mengantarkanku ke alam mimpi. Aku ketiduran beberapa menit saat membaca buku. Meski sebentar, namun cukup untuk mengembalikan sisa-sisa tenaga. Setelah berpamitan dan menunaikan solat ashar, akupun segera menuju stasiun Wonokromo, menunggu kedatangan kereta api ke Malang jam setengah 5 sore. Saat itu jam masih menunjukkan jam 4. Sambil menunggu, aku hanya bisa menonton seorang bocah penyanyi tuna netra namun memiliki suara yang merdu. Jam di tangan telah menunjuk jam setengah 5 sore, namun kereta yang kutunggu tak jua datang. Sementara penumpang yang memadati kursi tunggu semakin gelisah, termasuk aku. Aku benar-benar dilanda kebosanan akut. Aku lupa tak membawa teman baikku, buku bacaan. Alhasil aku pun membeli beberapa kue ringan untuk perjalanan pulang.

Hari sudah petang. Azan magrib hampir berkumandang. Pengumuman kedatangan keretapun berbunyi. Aku tak terlalu mendengar dengan jelas pengumuman dari pengeras suara. Sementara para calon penumpang yang telah menanti selama satu jam lebih itu tak sabaran, dorong mendorong. Aku pun berdiri di jalur 1. Merasa tak yakin, aku bertanya pada seseorang di sebelahku yang memiliki tujuan yang sama. Dia juga ke Malang. Kereta pun datang. Berhenti sejenak dan para calon penumpang berebutan masuk. Sementara itu, mataku menangkap sesosok jangkung yang kutemui hampir setahun yang lalu di kereta api penataran dari Blitar ke malang. Aku tak lupa wajahnya, karena memang ganteng sekali. Hahahaha. Selain itu, nama kondektur ini mirip dengan seseorang yang sempat membuat hari-hariku di masa sekolah jungkir balik. Ups !

Akhirnya aku memutuskan untuk naik kereta itu karena aku yakin ini adalah kereta yang sama yang akan membawaku ke Malang. Setelah menemukan tempat duduk, aku pun tenang dan sempat memejamkan mata karena lelah. Hingga akhhirnya pemeriksaan tiket pun dilakukan. Hatiku senang bertemu dengan kondektur muda itu lagi. Ketika tiketku kuberikan, ia pun berbicara padaku, dan aku pun segera menyesali pernah bertemu dengannya dulu. "Lho Mbak, kereta ini tidak lewat Malang lho. Mbaknya salah kereta. Ini kereta terakhir, nanti turun aja di stasiun selanjutnya." DEG !  Bagai disengat lebah, aku tak mampu berkata-kata. Ini kereta Rapih Dhoho, bukan Penataran. Seketika badanku lemas mendengar suara kondektur ganteng itu. Aku bingung dan ingin menangis. Hari sudah gelap. Aku tak tahu jurusan kereta ini yang kata ibu-ibu di sebelahku akan membawa ke jombang. Ponselku tak berfungsi. What should I do then? >.
Mereka bilang, aku seharusnya tadi menunggu kereta di jalur 2. Aku yang sudah lelah dan tidak tahu harus bagaimana itu langsung linglung. Entah mungkin wajahku ikut pucat. Namun Tuhan sangat baik, mbak-mbak sebelahku menawarkan padaku untuk ikut turun dengannya di stasiun Mojokerto. Dari situ aku harus naik bis untuk sampai ke Malang, meskipun harus oper beberapa kali. Masalahku kali itu pun menjadi kekhawatiran orang-orang di sekelilingku yang kebetulan perempuan semua. Seorang ibu-ibu mendoakanku semoga aku selamat sampai tujuan.

Dari stasiun Mojokerto yang tak kukenal ini aku harus naik becak lalu naik bis kuning sampai japananan. Lalu aku naik bis patas ke Malang. Begitulah instruksi mbak-mbak yang menolongku itu. Bodohnya aku sampai lupa menanyakan namanya karena terlanjur panik. Aku pun akhirnya naik becak yang dikayuh oleh bapak-bapak yang cukup tua. Angin malam berhembus menghantarkanku yang tiba-tiba jadi turis dadakan di kota orang itu. Dalam kondisi ini aku selalu mengingatkan diri untuk selalu menikmati setiap detiknya, pasti akan ada hikmah dari kenyataan yang tak berjalan sesuai rencana ini. Aku pun berbincang-bincang dengan Pak becak tersebut dan tanpa sengaja malah curhat. Ia bilang jarak dari stasiun ke tempat bis, sekitar 5 km. Aku pun terbelalak, pantas dari tadi tak kunjung sampai.

Sesampainya di pemberhentian bis, lagi-lagi aku dapat pelajaran. Biaya becak dari stasiun adalah 15 ribu rupiah, kata Pak becak tersebut. Ketika aku membuka dompet mencari uang, bapak tersebut bertanya padaku, “Jek ono sangune gawe tah Nduk?” “Masih ada uang untuk pulang kah Nak?” Seketika aku terharu, Bapak yang sudah cukup tua ini mengayuh 5 km malam-malam begini, mendengarkan curhatan bolang (bocah ilang) sepertiku, dan masih menanyakan keadaanku. “Taksih wonten, Pak. Masih ada, Pak” jawabku. Tak perlu acara tawar-menawar seperti yang biasa kulakukan dengan pak becak di kota. Setelah mengucapkan terima kasih, aku pun naik bis kecil berwarna kuning. Sengaja ku duduk di depan agar tak kesasar, karena aku sama sekali tak kenal kota ini. Bis pun tak kunjung melaju, hingga jam menunjuk pukul setengah 8 malam. Oh aku bosan! Waktuku hari itu didominasi oleh kata “Menunggu” tanpa hiburan sama sekali. Lapar juga. Ya Ampun. Lengkap sudah. Perjalanan Mojokerto-Japanan pun tak sesingkat dugaanku. Kenek bilang, ini bis terakhir ke japanan. Fiuh. Masih ada alasan kah buatku untuk tidak bersyukur di tengah keapesanku hari ini?

Sesampainya di japanan, aku melanjutkan dengan bis patas menuju arjosari. Gila! AC bus membuatku menggigil. Aku tak bawa jaket dan kelaparan semakin membuat perjalanan ini bagai siksaan (maagku kumat). Akhirnya aku tertidur sejenak. Lumayan lah pereda nyeri. Jam 9 lebih, aku sampai di arjosari. Angkot yang menuju daerah rumahku hanya tinggal satu, ADL. Kelihatannya angkot ini juga angkot terakhir. Tak apalah. Lega hatiku jika telah sampai di malang. Setidaknya aku telah hafal jalur di sini. Angkot berhenti di daerah ijen, dan aku harus berjalan sedikit ke arah rumah. Beruntung lagi, penumpang angkot tadi pun searah denganku meski tak saling kenal. Setidaknya ada teman jalan. Sesampainya di rumah, sudah kuduga ayah dan ibu pasti cemas karena tak bisa menghubungiku dan setelah meyakinkan, bahwa yang terpenting adalah dapat pulang sampai di rumah dengan selamat. Alhamdulillah. Aku pun juga dipertemukan dengan orang-orang baik yang menolongku. Padahal imajinasi ini telah berkeliaran ke mana-mana. (mungkin aku harus mengurangi frekuensi menonton film suspect dan detektif).

Hmm…akhirnya cerita ini pun berkorelasi dengan tema tes lisan ku. Tentang perjalanan yang kujabarkan tadi. Semua memang tak ada yang terjadi secara kebetulan. Bahkan dengan ketidakberuntungan pun akan menghasilkan cerita menarik jika kita mampu menyikapi dan mengemasnya dengan baik. Dalam setiap ketidakberuntungan sekalipun, akan ada selalu hal yang dpat kita nikmati dan kita ambil pelajaran. Jadi tidak ada alasan untuk tidak bersyukurkan kan? Apalagi dengan tidak berfungsinya alat komunikasi, aku yang diliputi rasa takut, harus selalu berdoa agar lebih tenang hingga aku merasa lebih dekat dengan-Nya. Mungkin ini salah satu ujian untuk menegurku untuk semakin introspeksi akan kelalaian yang aku perbuat dan berhati-hati.

Seorang kawan yang mendengar ceritaku tertawa terpingkal-pingkal. “Ini baru di Indonesia, di Jawa Timur, belum di luar negeri” katanya. Aku bercerita padanya karena kebetulan dia pernah salah jurusan bis ketika magang di Jerman. Nah oleh karena itulah, dengan berbekal pengalaman ini aku harap ketika suatu hari nanti aku harus melakukan perjalanan sendiri lagi entah di sini ataupun di negeri orang, aku harus lebih waspada dan memperhatikan pengumuman, karena selama ini aku memang terlalu cuek. Hehehehe.

***

Bulan April. Awal.

Hasil test DeLF diumumkan, dan sayang sekali aku masih belum lulus. Sia-siakah usahaku kemarin sampai akhirnya menjadi bolang? Aku rasa tidak. Semua butuh proses dan itu adalah proses yang tak boleh aku sesali. Perjalanan mengajarkanku banyak hal, terutama hal-hal yang tak kudapatkan selama kuliah ataupun sekolah. Sedikit kecewa, pasti. Namun tidak untuk terus-menerus dan disesali. Masih ada kesempatanku untuk perbaiki di sesi selanjutnya.

Di saat pengumuman DELF tak berpihak padaku, tanpa kuduga, aku mendapat pengumuman bahagia dari pihak kampus perihal beasiswa. Alhamdulillah aku masih mendapat beasiswa prestasi akademik tanpa harus mendaftar. Tuhan itu Maha Adil dan tak akan menyia-nyiakan usaha yang kita lakukan. Di sisi lain, aku dan teman-teman juga mendapat kesempatan untuk mengikuti preparation DELF B2 secara gratis selama sebulan 2 minggu dengan syarat harus serius dalam mengikutinya. Tak kusia-siakan kesempatan langka ini. Apalagi dengan tidak adanya kuliah selama semester ini, aku merasa kemampuan bahasa Prancisku mengalamai penurunan. Oleh karena itulah, dengan adanya penawaran ini, aku mendapat banyak tambahan ilmu yang semoga bermanfaat untuk masa depan.

Semangat! Terus berusaha, berdoa, dan bersyukur.

Jatuh 8 kali bangkit 9 kali. Begitulah motto boneka daruma dari jepang, kata seorang sahabatku.
Semoga bulan depan, berita bahagia menghampiri. Aamiin. ^^

22062013

Part III - februari ceria di Pulau Lombok, 2011. (End)


Sebelum kenangan dalam lorong memori memudar, maka kulanjutkan tulisan yang sempat terhenti ini :)

Hari ke-6 : 14 Februari 2011

Tak terasa sudah 6 hari aku membolang, jauh dari rumah dan hari ini  aku akan pergi mengeksplorasi sisi Lombok lainnya bersama Indri, Dita dan Pradhita. Yudhis ke mana ? Kali ini Yudhis pergi lagi ke Gili Trawangan bersama dengan mas Suta dan temannya yang berasal dari Brazil bernama Vinicius atau yang biasa dipanggil dengan Ipin dan mirip dengan Christian Bautista. :)

kebersamaan

Kemarin sore, mas suta dan Ipin sampai di Lombok dan menginap di rumah Praditha. Kami juga berkumpul di sana untuk makan malam masakan khas Lombok. Setelah makan malam kami pergi ke Mataram Mall untuk menghabiskan suara (baca : karaokean) :p. Jadilah malam itu kami bernyanyi bersama-sama selama hampir 2 jam yang ditutup dengan lagu “You’ll be in my heart”nya Phill Collins.

Oke kembali lagi, di hari ke-6 tersebut, paginya kami para cewek-cewek menghabiskan waktu di rumah Dita sambil menikmati ayam taliwang (lagi) di berugak. Berugak adalah sejenis gazebo berbentuk rumah yang terdapat di halaman rumah, biasanya digunakan untuk makan bersama atau sekedar bersantai melepas penat sambil menikmati hembusan angin. Benar-benar nikmat.

Siang hari kami menyusuri lorong-lorong pasar tradisioanal untuk membeli oleh-oleh khas Lombok. Kami membeli kaos-kaos khas Lombok untuk keluarga. Asyik sekali belanja bersama si Indri karena dia sangat lihat dalam hal tawar-menawar barang sehingga kami bisa mendapat harga barang yang murah. ^^ Namun kami harus bersabar menunggunya memilih-milih barang untuk oleh-oleh keluarga besarnya sementara udara di pasar sangat panas dan sesak oleh pembeli.

Selesai berbelanja dan beristirahat sejenak, kami meluncur ke Pantai Senggigi dengan sepeda motor. Dalam perjalanan tersebut, kami tidak hanya melewati jalan utama tetapi juga melewati jalanan kecil di sekitar pemukiman penduduk, di desa nelayan. Sesampainya di Pantai Senggigi kami disambut oleh matahari senja yang sangat indah. Warna keemasan itu berpadu dengan gelombang permukaan air laut sehingga menghasilkan pemandangan yang benar-benar memanjakan mata. Namun sayang kami tidak ada yang membawa kamera sore itu sehingga tidak ada moment yang dapat diabadikan. Meski demikian, kami tidak kecewa karena pesona Senggigi akan tetap teringat dalam memori kenangan kami masing-masing. Selain pesona sunsetnya, Senggigi juga menawarkan beberapa permainan air, seperti perahu layar dan kano. Perahu tersebut juga yang digunakan para nelayan untuk melakukan mata pencahariannya. Di sepanjang pantai, juga terdapat pasar kecil yang khusus menjual oleh-oleh khas Lombok, seperti gelang mutiara, hiasan dari kerang, tas dan kaos bergambar dan bertuliskan Senggigi atau Lombok, gantungan kunci dll. Selain itu juga ada jasa pembuatan tattoo hena dan kepang rambut.

Setelah menikmati es kelapa muda di tepi pantai, aku dan Indri tertarik untuk naik kano. Ini pertama kalinya aku naik kano. Senang sekaligus deg-degan sih. Dan hey…kami tidak menggunakan life-jacket dan 1 kano pun untuk 1 orang. Kalau Indri sih sudah pernah, jadi dia tidak sekhawatir aku. Okelah akupun memberanikan diriku mencoba hal baru ini, kapan lagi kalau tidak sekarang,  walaupun sempat ketakutan gara-gara terombang-ambing gelombang air laut pasang dan tiupan angin yang cukup kencang. Perlahan-lahan kukayuh kano yang kutumpangi menjauhi bibir pantai sambil memandangi senja. Wow! Beautiful! It was a perfect sunset moment ever!  Damai ketika kupandangi langit berawan di atasku lalu beralih pada horizon jauh di sana. Lagu Dewi Lestari yang “Aku Ada” sangat pas jika didengarkan dalam suasana seperti ini. Sendiri dikelilingi lautan, melajukan kano ke manapun aku suka, aha! Sepertinya aku sudah menguasai diri agar tidak gugup dalam buaian gelombang. Hahaha. Setelah beberapa menit berlalu akhirnya aku sudah cukup puas berkano dan gelombang air laut juga sudah cukup kencang, saatnya kembali ke daratan. Ketika kano sudah hampir mencium bibir pantai, kepanikan melandaku lagi, tiba-tiba kurasakan ombak menghempas cukup keras dan kanoku terbalik. Akupun tenggelam gelagapan. Kukira nyawaku akan berakhir di sini (lebay) :p. Namun ternyata tidak, saat kusadari aku masih bisa mencium pasir yang tak sengaja juga masuk ke mulutku dan menyebabkan perih di mataku. Syukurlah. Aku masih sadar. Namun lagi-lagi aku sial, ketika aku akan bangun kepalaku terbentur badan kano yang terbawa ombak tadi. Beruntung pemilik kano dan teman-temanku segera membantuku dan menyingkirkan kano dari tempatku. Alangkah terkejutnya aku ketika mengetahui bahwa tempatku tenggelam tadi hanya air pantai selutut. Aku ingin tertawa menertawakan kepanikanku tadi, tapi butiran pasir ini terasa mengganggu di mulut. Tsaahh.. dan perih di mata, ternyata ada darah di sana. Ada luka gores di kulit bawah mata. Arrrgghh..aku pun segera menuju tempat pembilasan dengan perasaan masih deg-degan dan meringis kesakitan. Sementara itu teman-temanku sudah khawatir dengan kejadian yang menimpaku barusan. Dan bodohnya, kami tidak membawa baju ganti, alhasil kami pulang dengan baju basah-basah. Untungnya tidak masuk angin padahal hari sudah menjelang malam.

Terima kasih Senggigi yang telah memberikan kenangan yang sampai kini ketika membahasnya, selalu membuat kami selalu tertawa. :D Kami pun menutup hari ini dengan menyantap hidangan sate rembige. Sedaaappp… tuh kan kami benar-benar ketagihan.

Hari ke-7 : 15 Februari 2011 (Masih tentang pantai dan tidak akan pernah bosan ^_^)

Pagi itu langit tampak cerah. Kami pun tak ingin kehilangan kesempatan untuk menjelajahi pulau ini. Destinasi kami selanjutnya adalah Pantai Kuta. Pantai Kuta? Awalnya kami juga bingung. Bukankah Pantai Kuta ada di bali? Hm..ternyata Lombok pun memiliki pantai dengan nama yang sama dan tak kalah menawannya lho. Bahkan menurutku, Pantai Kuta di sini lebih bagus, lebih alami, lebih damai dan pasti lebih sepi daripada Pantai Kuta di Bali.

Pantai Kuta ini terletak di bagian selatan Pulau Lombok dan membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam dari Mataram. Lokasinya tidak jauh dari Bandara Internasional Lombok. Selama perjalanan ke pantai ini, kami melewati rumah adat penduduk suku sasak yang atapnya terbuat dari ijuk.



pantai kuta-Lombok

Sesampainya di pantai, hari sudah agak siang. Pesona pantai ini benar-benar luar biasa. Lautnya yang tampak biru kehijauan itu tampak tenang dan dangkal. Suasana pantai pun tampak lengang, hanya desir angin pantai dan tawa riang kami yang terdengar di sana. Uniknya, pasir pantai ini memiliki bentuk yang berbeda dari pantai lainnya, yakni berbentuk seperti merica. Tentu saja tak lupa aku membawanya segenggam dalam kaleng bekas minuman untuk oleh-oleh. Hehehehe. Tampak sebuah karang berdiri tegak di tengah laut. Di sisi lainnya, pantai ini dikelilingi oleh bukit-bukit hijau yang sungguh asri. Mengingatkanku akan perbukitan di dunia teletubbies J  sungguh suasana melankolis yang membuatku ingin berpuisi dan jadi romantis. :p
Oh ya, di pantai ini juga terdapat sebuah hotel berbintang, yakni Novotel. Hotel milik perusahaan Prancis itu berdiri menghadap ke pantai. Bisa dibayangkan berapa harga menginap permalamnya dengan fasilitas yang memanjakan wisatawan yang benar-benar mendambakan ketenangan serta jauh dari hiruk-pikuknya perkotaan ini? yang jelas saya tak mampu untuk membayarnya. :p


rumput laut sepanjang pantai

 
pasir Pantai Kuta (sebelah kiri dengan kerang warna ungu)

Ketika teman-teman sedang asyik mandi di laut, aku bertugas menjaga barang-barang bawaan di pantai. Di bawah pohon yang cukup rindang, angin semilir berhembus. Matahari tak terlalu menyengat sinarnya kala itu. Seorang bocah laki-laki yang menjual aksesoris pun menghampiriku menawarkan barang dagangannya. Perbincangan singkat dengan bocah itu sempat membuatku trenyuh. Bocah yang kira-kira umur 10tahunan itu masih bersekolah dan berjualan ketika sepulang sekolah atau ketika hari libur. Aku pun membayangkan perjalanan daerah pantai ini yang jujur saja, agak sulit dijangkau, apalagi jika tidak menggunakan kendaraan pribadi. Berapa km yang harus ia tempuh untuk mendapatkan pendidikan dan bekerja seperti ini untuk menyambung hidup setiap harinya? Aku pun membandingkan dengan masa kecilku, hidup dan bersekolah di kota, tak perlu bekerja untuk sesuap nasi, namun aku kadang masih malas-malasan. Sungguh ironis. Dari bocah itu, aku belajar satu hal lagi tentang perjuangan hidup.


bocah penjual aksesoris

Setelah puas dengan pantai, kami pun pulang. Sore harinya, ada arak-arakan di jalan raya dekat tempat kami menginap. Katanya ada pernikahan adat suku sasak, namanya cicimol. Entah mengapa bayangan jajanan bulat dari kanji berwarna putih itu yang terbayang ketika mendengar kata cicimol (itu mah cimol :p). Namun sayang, kami tak sempat menontonnya karena mereka telah berjalan agak jauh.


Malam itu, kami semua berkumpul : Aku, Indri, Yudhis, mas suta, Ipin, Ditha, Pradhita, andra (adik Dhita), dan seorang teman baru bernama Jabar, asal Mataram yang ternyata juga sekampus dengan kami. Kami pun menghabiskan malam terakhir di Lombok dengan berjalan-jalan dan menyantap ayam taliwang di kaki lima. Kami makan berjajar di depan emperan toko yang sudah tutup.

makan bersama

Setelah itu kami duduk-duduk di berugak rumah Pradhita sambil makan nasi yang aku lupa namanya, rasanya pedas dan dimakan beramai-ramai dalam sebungkus daun pisang. Malam itu, salah satu target kami telah terwujud. Esok kami harus pulang ke Malang pagi hari.

Hari ke-8 : 16 februari 2011
Perjalanan pulang bukan berarti cerita berakhir. Setelah berpamitan pada para tuan rumah yang berbaik hati, kami pun pulang dengan ransel di bahu dan beberapa tas tambahan untuk buah tangan. Kali ini hanya aku dan Yudhis yang kembali ke Malang, mas suta dan Ipin akan melanjutkan eksplorasinya sementara Indri langsung pulang ke Semarang lewat jalur udara. Aku dan Yudhis naik bis dan mengulang perjalanan 1 x 24 jam seperti ketika berangkat kemarin. Kali ini aku agak was-was karena dalam bis yang kami tumpangi hanya ada sekitar 4 orang perempuan saja, sementara penumpang lainnya adalah laki-laki. Beruntunglah penumpangnya baik-baik, namun tidak dengan sopirnya. Maksudku, sopir bis ini ugal-ugalan (mengendarai dengan ngebut). Perjalanan di sepanjang hutan Bali menuju Gilimanuk terasa mencekam malam itu. Jalanan berkelok-kelok dan gelap namun dengan cepatnya si sopir melajukan bis itu. Aku pun hanya memejamkan mata karena takut. Kurutuki ulah si sopir itu dalam gerutu.


persiapan pulang

Cerita ini masih juga belum usai. Bis yang kami tumpangi sempat mogok beberapa kali dan puncaknya adalah bis benar-benar tidak bisa dijalankan di daerah probolinggo hingga beberapa jam. Kami pun bosan di dalam bis dan akhirnya memutuskan untuk turun di tengah kantuk dan dingin yang melanda. Jam 4 subuh kala itu. Aku sudah bosan menunggu. Jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi dan si kenek bilang bahwa bis belum bisa dijalankan. Aku yang sudah lelah, ngantuk dan bete pun tak sabar untuk segera sampai di rumah. Sebuah bis umum pun lewat dan segera kami setop. Aku dan Yudhis berganti bis. Aku tak peduli pada tiket bis yang sudah dibayar, daripada aku tak pulang-pulang, sementara badan ini sudah rindu kasur. Akhirnya kami berada berdesakan dalam 1 bis dengan para siswa yang hendak berangkat sekolah dan para pegawai yang berangkat bekerja. Kami duduk di kursi belakang sambil menikmati angin yang berhembus dari pintu belakang bis.  Bis pun sampai di terminal Arjosari pukul 9 pagi, dan ketika Yudhis telah turun di Lawang, aku pun masih melanjutkan perjalanan pulang dengan angkot sambil membawa ransel dan barang bawaan. Malang....aku pulang dengan cerita untukmu :)

Malang 21062013

“Perjalanan membuatmu tak hanya melihat dengan mata, tetapi juga dengan hati yang akan menjadi sebuah cerita dan dikenang di masa depan nanti” (Me)