Tahukah kau
mengapa aku sangat mengagumi senja? Terutama senja yang terlukis di atas
horison lautan. Senja pertama yang pernah kita nikmati bersama. Dan kuharap itu
bukan senja yang terakhir.
Masih jelas dalam
ingatanku, kala itu kau sedang asyik duduk seorang diri di tepi pantai
beralaskan pasir. Hari sudah sore. Angin laut bertiup menggiring nelayan pulang
ke daratan. Air laut pun sudah mulai pasang. Burung-burung beterbangan kembali
pulang ke sarang sambil mengucapkan salam perpisahan pada keperkasaan raja
siang.
Aku menghentikan
langkahku dan ingin memandangi sosokmu dari kejauhan. Raut wajahmu terlihat
sendu. Senada dengan wajah langit sore ini yang mendung kelabu. Pandanganmu lurus
menatap ke cakrawala. Hanya gumpalan awan yang menyambut tatapan sendumu.
“Sedang
apa kau sendiri di sini?” tanyaku.
Tiba-tiba saja aku ingin mendekatinya.
“Menanti senja,” jawabmu singkat.
“Senja tak akan datang sore ini. Lihat! Di
sana awan mendung. Langit sudah hampir gelap. Segeralah pulang. Keluargamu akan khawatir jika tak
mendapatimu di rumah menjelang hari gelap.”
Kau menatapku
dengan tajam dan sinis. “Pergi saja dulu. Aku sedang ingin sendiri. Kau tak pernah tahu rasanya ditinggal sendirian
bukan?” Lalu kau tertawa.
Aku semakin penasaran
denganmu. Mengapa kauberani berkata seperti itu padaku?
“Aku yakin senja
akan datang. Kalau tidak hari ini, mungkin besok. Ia sudah berjanji padaku. Ia
akan datang.”
“Terserah kau
sajalah. Aku sudah mengingatkanmu, mustahil senja akan hadir pada cuaca seperti
ini. Kau terlalu berharap.” Aku pun melangkah dengan gontai meninggalkanmu
seorang diri. Tak berapa lama, aku mendengar suara isak tangis. Kulihat kau
sedang menangis sesenggukan. Entah apa yang kau pikirkan hingga menangis
seperti itu. Gadis yang aneh. Namun aku juga merasakan keanehan dalam diriku.
Tiba-tiba saja aku kembali ke sebelahmu sambil mengulurkan sebuah tissu. Kau
ambil tissu tersebut lalu pergi begitu saja meninggalkanku tanpa mengucapkan sedikitpun
terima kasih.
Aku kembali
memandang lepas ke lautan seraya berbisik, dalamnya lautan bisa diselami,
dalamnya hati wanita siapa yang tahu. Ku ambil peralatan menyelam yang sejak
tadi ku letakkan begitu saja di bawah pohon kelapa. Angin malam semakin terasa ngilu
menggigit kulit. Sesaat kemudian,
gerimis mengguyur pantai ini.
***
Sore yang berbeda, masih di pantai yang sama.
Langit tampak
cerah. Kontras dengan cuaca kemarin yang kelabu, kini semua tampak lebih ceria.
Sore itu, aku menangkap senja yang mulai terlukis di cakrawala. Aku segera
berlari ke arah tepi pantai. Benar saja dugaanku, kau telah stand by di
sana layaknya fans yang telah siap menyambut kedatangan artis idolanya. Tak
seperti kemarin, kau kini tersenyum bahagia, dan matamu berbinar-binar penuh
kekaguman. Aku tersihir oleh pesonamu.
Kau, senja,dan lautan sore ini adalah lukisan dengan komposisi yang sempurna. Sayang
aku tak dapat mengabadikannya dengan kamera. Kedua mataku adalah kamera
pemberian Tuhan yang tiada duanya. Iya, kurekam baik-baik lukisan di depanku
ini. Aku adalah penonton. Penonton yang setia menungguimu bercengkrama bersama
senja yang kau nanti-nantikan sejak kemarin.
“Akhirnya senja
yang kau nanti datang juga,” celetukku kala ia menoleh padaku. Mungkin kau merasa ada yang memperhatikan.
“Ya. Senja menepati
janjinya.”
Aku dan kau kini
duduk bersebelahan menyaksikan senja yang indah. Awan berarak berwarna merah jingga dan kuning. Air laut merefleksikan lukisan
tersebut di permukaannya. Burung-burung laut mulai pulang ke sarang. Namun senja
masih enggan beranjak dari hadapan kita. Kita berbicara dalam diam. Dalam
bahasa yang aku dan kau sama-sama tahu, bahasa sunyi. Kau sibuk dengan
imajinasi dalam kepalamu. Sedangkan aku sibuk meredam genderang dalam hatiku
yang aku khawatir kau akan mendengarnya dalam jarak duduk kita yang hanya
terhalang sandalmu. Tak ada suara ombak
yang mengiringi perbincangan kita, demikian juga dengan nyanyian burung . Kita
pun larut dalam kesyahduan alam. Tanpa terasa aku ingin saat itu waktu bisa
membeku.
“Mengapa kau suka
senja?” tanyaku akhirnya memecah lamunannya.
Ia menoleh sambil
tersenyum. “Aku dilahirkan bersama senja. Mereka meninggalkanku pun bersama
senja. Setiap hari, hanya dengan menatap senja aku merasa tak lagi sendiri. Aku
merasa lebih hidup saat bersama senja. Namun sayang, senja hanya hadir
sebentar. Lalu malam yang kelam menghampiri dan membuatku sendiri lagi. Ia yang
berjanji menjemputku akan datang saat senja, namun tak pernah sekalipun ia
datang. Hanya senja yang menepati janjinya, meski terkadang ia absen, seperti
kemarin.”
Hatiku ikut terenyuh.
Kau tampak kesepian. Apakah kau memang benar-benar sendirian? Aku masih
menyimpan banyak pertanyaan dalam benakku. Namun ternyata senja ingin segera
pamit. Langit mulai tampak menggelap. Mentari mulai tertelan horizon cakrawala.
Ia masih harus melaksanakan tugasnya menyinari bagian lain bumi ini.
Menghangatkan hati-hati yang sepi. Seperti hatimu.
“Kau mau ke mana?
Bolehkah aku ikut denganmu?”
“Aku mau pulang.
Jangan ikuti aku.”
“Apakah besok kau
akan datang lagi ke sini?”
“Entahlah. Aku
tak pernah tahu apa yang akan terjadi besok. Aku takut aku tak bisa menepati janji
untuk datang ke sini lagi. Jangan pernah menantiku."
Aku tertegun dengan
pernyataannya barusan.
“Aku akan menantimu esok,”
ujarku keukeuh.
Kau menoleh padaku. Memandangi
wajahku dengan tatapan sendumu. Lalu kau tersenyum.
“Kalau begitu jangan
pernah merasa kecewa jika kau telah berani berharap. Jika aku tak datang, jangan pernah mencariku
atau menungguku. Jika aku datang, mungkin takdir berpihak pada kita. Terima
kasih atas tissunya kemarin.”
Tiba-tiba sebuah
perasaan menyeruak ke dalam hatiku. Entah perasaan macam apa aku tak pernah
menyadarinya. Seperti takut akan kehilanganmu untuk waktu yang tak pernah ku
tahu.
Kau pun segera
berbalik badan, kembali ke arah kau datang tadi.
“Tunggu, siapa
namamu?”
Kau menghentikan
langkahmu, “Namaku berarti senja. Namamu berarti lautan kan ?” ujarmu sambil
tersenyum manis.
“Bagaimana kau
tahu namaku? Aku belum memperkenalkan diri. Kita baru kemarin bertemu.”
Kau sungguh
membuatku bingung kala itu.
“Sudahlah, aku
tahu. Aku tahu tanpa kau harus tahu. Aku pulang dulu.”
Kau meninggalkanku
yang sedang bingung seorang diri. Aku merasa telah dicurangi. 1-0 untukmu. Tunggu saja akan kubalas esok.
***
Tak ingin kalah
darimu, aku mencari tahu tentangmu. Bertanya pada penduduk sekitar. Akhirnya
kutahu, namamu Ina. Ina dalam bahasa sansekerta berarti matahari pagi atau senja.
Seperti katamu kemarin. Baru kutahu juga, kau tinggal bersama ibumu, berdua
saja di rumah sederhana. Kata mereka, kau adalah orang yang pendiam namun
sangat baik. Kau jarang sekali keluar rumah kecuali saat pagi buta dan sore
menjelang senja. Kau sibukkan hari-harimu dengan merawat ibumu yang sakit dan
menjahit pakaian untuk menyambung hidup. Seorang anak kecil memberi tahuku
bahwa ia seringkali melihatmu di tepi pantai saat senja. Ternyata ritualmu itu
memang kau lakukan sejak lama. Baiklah, sore ini aku tak akan kalah darimu.
Kubawa kamera digitalku bersama tripodnya untuk mengabadikan senja sore nanti.
Cuaca hari ini cerah, kuharap kan seperti kemarin. Hari ini aku memang
mempersiapkan diri untuk bertemu denganmu. Deg-degan juga ya menunggumu di
sini.
Senja mulai
menampakkan rupanya. Kali ini lebih indah dari senja kemarin. Namun kau tak jua
muncul di sini. Untuk mengusir rasa bosan karena menunggu, aku abadikan lukisan
alam ini dengan kameraku. Ina...kenapa kau lama sekali.
Lama-lama aku
bosan menunggumu. Di tengah kebosanan itu, tiba-tiba aku teringat kata-katamu
kemarin. “Jangan menungguku.” Apakah kau benar-benar tak datang sore ini?
Bukankah senja ini yang selalu kau tunggu-tunggu? Apakah ia yang berjanji akan
menjemputmu saat senja telah menepati janjinya? Lalu kau mematahkan harapanku
untuk kembali bertemu denganmu?
Seorang anak yang
kutemui tadi, tiba-tiba mendapatiku di tempat kuberdiri saat ini. Ia bilang,
kau dan ibumu telah pergi. Entah ke mana. Katanya seseorang telah datang dengan
mobil pajero putih untuk menjemput mereka. Tak ada satupun tetangga yang tahu ke mana
perginya dirimu.
Hatiku seperti
ada yang hilang. Hilang bersama ketidakhadiranmu di sini. Hilang bersama
harapanku yang kau patahkan, untuk melihat senja yang indah ini sekali lagi
bersamamu. Mungkin memang benar katamu, aku tak perlu banyak berharap untuk
bisa menemuimu lagi.
Senja dan lautan
di hadapanku kini, pelan-pelan mulai berbincang padaku. Ada pesan yang ia
sampaikan padaku. Pesan yang mereka dapatkan darimu kemarin. Mereka bilang, kau
menitipkan salam untukku. Menitipkan lagu perpisahan. Menitipkan melankolia
ini.
Entah kenapa aku
hanya ingin menunggumu. Menunggumu yang entah kapan akan kembali ke sini. Atau mungkin, suatu hari nanti kita akan
bertemu di pantai yang lain, pada senja yang lain. Seperti katamu kemarin, jika
kita bertemu lagi, mungkin takdir berpihak pada kita. Pada senja dan laut.
Seperti halnya senja yang menghampiri, pertemuan kita yang teramat singkat,
membuatku ingin mengenangmu dan menghargai setiap perjalanan yang kulalui ini.
“Bipbipbipbip..”
Suara ponsel
dalam tasku menghentikan lamunanku. Sebuah pesan masuk.
“Samudera,
sampai mana perkembangan novelmu? Kalau bisa bulan ini selesai ya. Can’t wait to read your crazy thought. Hohoho :p”
Pesan dari editor novelku yang
cerewet. Hmm… waktuku di sini hampir habis. Saatnya kembali ke rutinitas
semula.
“As soon as
possible. You will get melancholic touch on my next project. See you. Maluku
benar-benar membuatku terpesona dan tak ingin pulang. You must visit this place
someday. Hahaha.”
Aku kembali berdiri
di tepi pantai ini. Mengucapkan salam perpisahan sekaligus terima kasih padamu,
gadis senja misterius, pada senja, pada lautan yang namanya dititipkan pada
namaku, pada langit merah dan awan berarak, pada takdir, padaNya yang
mempertemukan kita, di suatu senja di tempatku berpijak. Harapanku kini kembali
cerah, secerah senja di hadapanku. Semoga kita bertemu lagi.
Suatu hari nanti.
21112013
|
photo from Ryan Rinaldy | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | https://www.facebook.com/photo.php?fbid=698076640210813&set=a.161849440500205.31907.100000254507075&type=1&theater |