Sebelum kenangan dalam lorong memori memudar, maka kulanjutkan tulisan yang sempat terhenti ini :)
Hari ke-6 : 14 Februari 2011
Tak terasa sudah 6 hari aku membolang, jauh dari rumah dan hari ini aku akan pergi mengeksplorasi sisi Lombok lainnya bersama Indri, Dita dan Pradhita. Yudhis ke mana ? Kali ini Yudhis pergi lagi ke Gili Trawangan bersama dengan mas Suta dan temannya yang berasal dari Brazil bernama Vinicius atau yang biasa dipanggil dengan Ipin dan mirip dengan Christian Bautista. :)
Kemarin sore, mas suta dan Ipin sampai di Lombok dan menginap di rumah Praditha. Kami juga berkumpul di sana untuk makan malam masakan khas Lombok. Setelah makan malam kami pergi ke Mataram Mall untuk menghabiskan suara (baca : karaokean) :p. Jadilah malam itu kami bernyanyi bersama-sama selama hampir 2 jam yang ditutup dengan lagu “You’ll be in my heart”nya Phill Collins.
Oke kembali lagi, di hari ke-6 tersebut, paginya kami para cewek-cewek menghabiskan waktu di rumah Dita sambil menikmati ayam taliwang (lagi) di berugak. Berugak adalah sejenis gazebo berbentuk rumah yang terdapat di halaman rumah, biasanya digunakan untuk makan bersama atau sekedar bersantai melepas penat sambil menikmati hembusan angin. Benar-benar nikmat.
Siang hari kami menyusuri lorong-lorong pasar tradisioanal untuk membeli oleh-oleh khas Lombok. Kami membeli kaos-kaos khas Lombok untuk keluarga. Asyik sekali belanja bersama si Indri karena dia sangat lihat dalam hal tawar-menawar barang sehingga kami bisa mendapat harga barang yang murah. ^^ Namun kami harus bersabar menunggunya memilih-milih barang untuk oleh-oleh keluarga besarnya sementara udara di pasar sangat panas dan sesak oleh pembeli.
Selesai berbelanja dan beristirahat sejenak, kami meluncur ke Pantai Senggigi dengan sepeda motor. Dalam perjalanan tersebut, kami tidak hanya melewati jalan utama tetapi juga melewati jalanan kecil di sekitar pemukiman penduduk, di desa nelayan. Sesampainya di Pantai Senggigi kami disambut oleh matahari senja yang sangat indah. Warna keemasan itu berpadu dengan gelombang permukaan air laut sehingga menghasilkan pemandangan yang benar-benar memanjakan mata. Namun sayang kami tidak ada yang membawa kamera sore itu sehingga tidak ada moment yang dapat diabadikan. Meski demikian, kami tidak kecewa karena pesona Senggigi akan tetap teringat dalam memori kenangan kami masing-masing. Selain pesona sunsetnya, Senggigi juga menawarkan beberapa permainan air, seperti perahu layar dan kano. Perahu tersebut juga yang digunakan para nelayan untuk melakukan mata pencahariannya. Di sepanjang pantai, juga terdapat pasar kecil yang khusus menjual oleh-oleh khas Lombok, seperti gelang mutiara, hiasan dari kerang, tas dan kaos bergambar dan bertuliskan Senggigi atau Lombok, gantungan kunci dll. Selain itu juga ada jasa pembuatan tattoo hena dan kepang rambut.
Setelah menikmati es kelapa muda di tepi pantai, aku dan Indri tertarik untuk naik kano. Ini pertama kalinya aku naik kano. Senang sekaligus deg-degan sih. Dan hey…kami tidak menggunakan life-jacket dan 1 kano pun untuk 1 orang. Kalau Indri sih sudah pernah, jadi dia tidak sekhawatir aku. Okelah akupun memberanikan diriku mencoba hal baru ini, kapan lagi kalau tidak sekarang, walaupun sempat ketakutan gara-gara terombang-ambing gelombang air laut pasang dan tiupan angin yang cukup kencang. Perlahan-lahan kukayuh kano yang kutumpangi menjauhi bibir pantai sambil memandangi senja. Wow! Beautiful! It was a perfect sunset moment ever! Damai ketika kupandangi langit berawan di atasku lalu beralih pada horizon jauh di sana. Lagu Dewi Lestari yang “Aku Ada” sangat pas jika didengarkan dalam suasana seperti ini. Sendiri dikelilingi lautan, melajukan kano ke manapun aku suka, aha! Sepertinya aku sudah menguasai diri agar tidak gugup dalam buaian gelombang. Hahaha. Setelah beberapa menit berlalu akhirnya aku sudah cukup puas berkano dan gelombang air laut juga sudah cukup kencang, saatnya kembali ke daratan. Ketika kano sudah hampir mencium bibir pantai, kepanikan melandaku lagi, tiba-tiba kurasakan ombak menghempas cukup keras dan kanoku terbalik. Akupun tenggelam gelagapan. Kukira nyawaku akan berakhir di sini (lebay) :p. Namun ternyata tidak, saat kusadari aku masih bisa mencium pasir yang tak sengaja juga masuk ke mulutku dan menyebabkan perih di mataku. Syukurlah. Aku masih sadar. Namun lagi-lagi aku sial, ketika aku akan bangun kepalaku terbentur badan kano yang terbawa ombak tadi. Beruntung pemilik kano dan teman-temanku segera membantuku dan menyingkirkan kano dari tempatku. Alangkah terkejutnya aku ketika mengetahui bahwa tempatku tenggelam tadi hanya air pantai selutut. Aku ingin tertawa menertawakan kepanikanku tadi, tapi butiran pasir ini terasa mengganggu di mulut. Tsaahh.. dan perih di mata, ternyata ada darah di sana. Ada luka gores di kulit bawah mata. Arrrgghh..aku pun segera menuju tempat pembilasan dengan perasaan masih deg-degan dan meringis kesakitan. Sementara itu teman-temanku sudah khawatir dengan kejadian yang menimpaku barusan. Dan bodohnya, kami tidak membawa baju ganti, alhasil kami pulang dengan baju basah-basah. Untungnya tidak masuk angin padahal hari sudah menjelang malam.
Terima kasih Senggigi yang telah memberikan kenangan yang sampai kini ketika membahasnya, selalu membuat kami selalu tertawa. :D Kami pun menutup hari ini dengan menyantap hidangan sate rembige. Sedaaappp… tuh kan kami benar-benar ketagihan.
Hari ke-7 : 15 Februari 2011 (Masih tentang pantai dan tidak akan pernah bosan ^_^)
Pagi itu langit tampak cerah. Kami pun tak ingin kehilangan kesempatan untuk menjelajahi pulau ini. Destinasi kami selanjutnya adalah Pantai Kuta. Pantai Kuta? Awalnya kami juga bingung. Bukankah Pantai Kuta ada di bali? Hm..ternyata Lombok pun memiliki pantai dengan nama yang sama dan tak kalah menawannya lho. Bahkan menurutku, Pantai Kuta di sini lebih bagus, lebih alami, lebih damai dan pasti lebih sepi daripada Pantai Kuta di Bali.
Pantai Kuta ini terletak di bagian selatan Pulau Lombok dan membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam dari Mataram. Lokasinya tidak jauh dari Bandara Internasional Lombok. Selama perjalanan ke pantai ini, kami melewati rumah adat penduduk suku sasak yang atapnya terbuat dari ijuk.
Sesampainya di pantai, hari sudah agak siang. Pesona pantai ini benar-benar luar biasa. Lautnya yang tampak biru kehijauan itu tampak tenang dan dangkal. Suasana pantai pun tampak lengang, hanya desir angin pantai dan tawa riang kami yang terdengar di sana. Uniknya, pasir pantai ini memiliki bentuk yang berbeda dari pantai lainnya, yakni berbentuk seperti merica. Tentu saja tak lupa aku membawanya segenggam dalam kaleng bekas minuman untuk oleh-oleh. Hehehehe. Tampak sebuah karang berdiri tegak di tengah laut. Di sisi lainnya, pantai ini dikelilingi oleh bukit-bukit hijau yang sungguh asri. Mengingatkanku akan perbukitan di dunia teletubbies J sungguh suasana melankolis yang membuatku ingin berpuisi dan jadi romantis. :p
Oh ya, di pantai ini juga terdapat sebuah hotel berbintang, yakni Novotel. Hotel milik perusahaan Prancis itu berdiri menghadap ke pantai. Bisa dibayangkan berapa harga menginap permalamnya dengan fasilitas yang memanjakan wisatawan yang benar-benar mendambakan ketenangan serta jauh dari hiruk-pikuknya perkotaan ini? yang jelas saya tak mampu untuk membayarnya. :p
Ketika teman-teman sedang asyik mandi di laut, aku bertugas menjaga barang-barang bawaan di pantai. Di bawah pohon yang cukup rindang, angin semilir berhembus. Matahari tak terlalu menyengat sinarnya kala itu. Seorang bocah laki-laki yang menjual aksesoris pun menghampiriku menawarkan barang dagangannya. Perbincangan singkat dengan bocah itu sempat membuatku trenyuh. Bocah yang kira-kira umur 10tahunan itu masih bersekolah dan berjualan ketika sepulang sekolah atau ketika hari libur. Aku pun membayangkan perjalanan daerah pantai ini yang jujur saja, agak sulit dijangkau, apalagi jika tidak menggunakan kendaraan pribadi. Berapa km yang harus ia tempuh untuk mendapatkan pendidikan dan bekerja seperti ini untuk menyambung hidup setiap harinya? Aku pun membandingkan dengan masa kecilku, hidup dan bersekolah di kota, tak perlu bekerja untuk sesuap nasi, namun aku kadang masih malas-malasan. Sungguh ironis. Dari bocah itu, aku belajar satu hal lagi tentang perjuangan hidup.
Setelah puas dengan pantai, kami pun pulang. Sore harinya, ada arak-arakan di jalan raya dekat tempat kami menginap. Katanya ada pernikahan adat suku sasak, namanya cicimol. Entah mengapa bayangan jajanan bulat dari kanji berwarna putih itu yang terbayang ketika mendengar kata cicimol (itu mah cimol :p). Namun sayang, kami tak sempat menontonnya karena mereka telah berjalan agak jauh.
Malam itu, kami semua berkumpul : Aku, Indri, Yudhis, mas suta, Ipin, Ditha, Pradhita, andra (adik Dhita), dan seorang teman baru bernama Jabar, asal Mataram yang ternyata juga sekampus dengan kami. Kami pun menghabiskan malam terakhir di Lombok dengan berjalan-jalan dan menyantap ayam taliwang di kaki lima. Kami makan berjajar di depan emperan toko yang sudah tutup.
Setelah itu kami duduk-duduk di berugak rumah Pradhita sambil makan nasi yang aku lupa namanya, rasanya pedas dan dimakan beramai-ramai dalam sebungkus daun pisang. Malam itu, salah satu target kami telah terwujud. Esok kami harus pulang ke Malang pagi hari.
Hari ke-8 : 16 februari 2011
Perjalanan pulang bukan berarti cerita berakhir. Setelah berpamitan pada para tuan rumah yang berbaik hati, kami pun pulang dengan ransel di bahu dan beberapa tas tambahan untuk buah tangan. Kali ini hanya aku dan Yudhis yang kembali ke Malang, mas suta dan Ipin akan melanjutkan eksplorasinya sementara Indri langsung pulang ke Semarang lewat jalur udara. Aku dan Yudhis naik bis dan mengulang perjalanan 1 x 24 jam seperti ketika berangkat kemarin. Kali ini aku agak was-was karena dalam bis yang kami tumpangi hanya ada sekitar 4 orang perempuan saja, sementara penumpang lainnya adalah laki-laki. Beruntunglah penumpangnya baik-baik, namun tidak dengan sopirnya. Maksudku, sopir bis ini ugal-ugalan (mengendarai dengan ngebut). Perjalanan di sepanjang hutan Bali menuju Gilimanuk terasa mencekam malam itu. Jalanan berkelok-kelok dan gelap namun dengan cepatnya si sopir melajukan bis itu. Aku pun hanya memejamkan mata karena takut. Kurutuki ulah si sopir itu dalam gerutu.
Cerita ini masih juga belum usai. Bis yang kami tumpangi sempat mogok beberapa kali dan puncaknya adalah bis benar-benar tidak bisa dijalankan di daerah probolinggo hingga beberapa jam. Kami pun bosan di dalam bis dan akhirnya memutuskan untuk turun di tengah kantuk dan dingin yang melanda. Jam 4 subuh kala itu. Aku sudah bosan menunggu. Jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi dan si kenek bilang bahwa bis belum bisa dijalankan. Aku yang sudah lelah, ngantuk dan bete pun tak sabar untuk segera sampai di rumah. Sebuah bis umum pun lewat dan segera kami setop. Aku dan Yudhis berganti bis. Aku tak peduli pada tiket bis yang sudah dibayar, daripada aku tak pulang-pulang, sementara badan ini sudah rindu kasur. Akhirnya kami berada berdesakan dalam 1 bis dengan para siswa yang hendak berangkat sekolah dan para pegawai yang berangkat bekerja. Kami duduk di kursi belakang sambil menikmati angin yang berhembus dari pintu belakang bis. Bis pun sampai di terminal Arjosari pukul 9 pagi, dan ketika Yudhis telah turun di Lawang, aku pun masih melanjutkan perjalanan pulang dengan angkot sambil membawa ransel dan barang bawaan. Malang....aku pulang dengan cerita untukmu :)
Malang 21062013
“Perjalanan membuatmu tak hanya melihat dengan mata, tetapi juga dengan hati yang akan menjadi sebuah cerita dan dikenang di masa depan nanti” (Me)
No comments:
Post a Comment