Thursday, 21 November 2013

Melankolia Senja dan Lautan


Tahukah kau mengapa aku sangat mengagumi senja? Terutama senja yang terlukis di atas horison lautan. Senja pertama yang pernah kita nikmati bersama. Dan kuharap itu bukan senja yang terakhir.

Masih jelas dalam ingatanku, kala itu kau sedang asyik duduk seorang diri di tepi pantai beralaskan pasir. Hari sudah sore. Angin laut bertiup menggiring nelayan pulang ke daratan. Air laut pun sudah mulai pasang. Burung-burung beterbangan kembali pulang ke sarang sambil mengucapkan salam perpisahan pada keperkasaan raja siang.

Aku menghentikan langkahku dan ingin memandangi sosokmu dari kejauhan. Raut wajahmu terlihat sendu. Senada dengan wajah langit sore ini yang mendung kelabu. Pandanganmu lurus menatap ke cakrawala. Hanya gumpalan awan yang menyambut tatapan sendumu.

Sedang apa kau sendiri di sini?” tanyaku. Tiba-tiba saja aku ingin mendekatinya.

“Menanti senja,” jawabmu singkat.

“Senja tak akan datang sore ini. Lihat! Di sana awan mendung. Langit sudah hampir gelap. Segeralah pulang. Keluargamu akan khawatir jika tak mendapatimu di rumah menjelang hari gelap.”

Kau menatapku dengan tajam dan sinis. “Pergi saja dulu. Aku sedang ingin sendiri. Kau tak pernah tahu rasanya ditinggal sendirian bukan?” Lalu kau tertawa.

Aku semakin penasaran denganmu. Mengapa kauberani berkata seperti itu padaku?

“Aku yakin senja akan datang. Kalau tidak hari ini, mungkin besok. Ia sudah berjanji padaku. Ia akan datang.”

“Terserah kau sajalah. Aku sudah mengingatkanmu, mustahil senja akan hadir pada cuaca seperti ini. Kau terlalu berharap.” Aku pun melangkah dengan gontai meninggalkanmu seorang diri. Tak berapa lama, aku mendengar suara isak tangis. Kulihat kau sedang menangis sesenggukan. Entah apa yang kau pikirkan hingga menangis seperti itu. Gadis yang aneh. Namun aku juga merasakan keanehan dalam diriku. Tiba-tiba saja aku kembali ke sebelahmu sambil mengulurkan sebuah tissu. Kau ambil tissu tersebut lalu pergi begitu saja meninggalkanku tanpa mengucapkan sedikitpun terima kasih.

Aku kembali memandang lepas ke lautan seraya berbisik, dalamnya lautan bisa diselami, dalamnya hati wanita siapa yang tahu. Ku ambil peralatan menyelam yang sejak tadi ku letakkan begitu saja di bawah pohon kelapa. Angin malam semakin terasa ngilu menggigit kulit.  Sesaat kemudian, gerimis mengguyur pantai ini.

***

 Sore yang berbeda, masih di pantai yang sama.
Langit tampak cerah. Kontras dengan cuaca kemarin yang kelabu, kini semua tampak lebih ceria. Sore itu, aku menangkap senja yang mulai terlukis di cakrawala. Aku segera berlari ke arah tepi pantai. Benar saja dugaanku, kau telah stand by di sana layaknya fans yang telah siap menyambut kedatangan artis idolanya. Tak seperti kemarin, kau kini tersenyum bahagia, dan matamu berbinar-binar penuh kekaguman.  Aku tersihir oleh pesonamu. Kau, senja,dan lautan sore ini adalah lukisan dengan komposisi yang sempurna. Sayang aku tak dapat mengabadikannya dengan kamera. Kedua mataku adalah kamera pemberian Tuhan yang tiada duanya. Iya, kurekam baik-baik lukisan di depanku ini. Aku adalah penonton. Penonton yang setia menungguimu bercengkrama bersama senja yang kau nanti-nantikan sejak kemarin.

“Akhirnya senja yang kau nanti datang juga,” celetukku kala ia menoleh padaku. Mungkin kau  merasa ada yang memperhatikan.

“Ya. Senja menepati janjinya.”

Aku dan kau kini duduk bersebelahan menyaksikan senja yang indah. Awan berarak berwarna merah jingga dan kuning. Air laut merefleksikan lukisan tersebut di permukaannya. Burung-burung laut mulai pulang ke sarang. Namun senja masih enggan beranjak dari hadapan kita. Kita berbicara dalam diam. Dalam bahasa yang aku dan kau sama-sama tahu, bahasa sunyi. Kau sibuk dengan imajinasi dalam kepalamu. Sedangkan aku sibuk meredam genderang dalam hatiku yang aku khawatir kau akan mendengarnya dalam jarak duduk kita yang hanya terhalang sandalmu.  Tak ada suara ombak yang mengiringi perbincangan kita, demikian juga dengan nyanyian burung . Kita pun larut dalam kesyahduan alam. Tanpa terasa aku ingin saat itu waktu bisa membeku.

“Mengapa kau suka senja?” tanyaku akhirnya memecah lamunannya.

Ia menoleh sambil tersenyum. “Aku dilahirkan bersama senja. Mereka meninggalkanku pun bersama senja. Setiap hari, hanya dengan menatap senja aku merasa tak lagi sendiri. Aku merasa lebih hidup saat bersama senja. Namun sayang, senja hanya hadir sebentar. Lalu malam yang kelam menghampiri dan membuatku sendiri lagi. Ia yang berjanji menjemputku akan datang saat senja, namun tak pernah sekalipun ia datang. Hanya senja yang menepati janjinya, meski terkadang ia absen, seperti kemarin.”

Hatiku ikut terenyuh. Kau tampak kesepian. Apakah kau memang benar-benar sendirian? Aku masih menyimpan banyak pertanyaan dalam benakku. Namun ternyata senja ingin segera pamit. Langit mulai tampak menggelap. Mentari mulai tertelan horizon cakrawala. Ia masih harus melaksanakan tugasnya menyinari bagian lain bumi ini. Menghangatkan hati-hati yang sepi. Seperti hatimu.

“Kau mau ke mana? Bolehkah aku ikut denganmu?”

“Aku mau pulang. Jangan ikuti aku.”

“Apakah besok kau akan datang lagi ke sini?”

“Entahlah. Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi besok. Aku takut aku tak bisa menepati janji untuk datang ke sini lagi. Jangan pernah menantiku."

Aku tertegun dengan pernyataannya barusan.

“Aku akan menantimu esok,” ujarku keukeuh.

Kau menoleh padaku. Memandangi wajahku dengan tatapan sendumu. Lalu kau tersenyum. 

“Kalau begitu jangan pernah merasa kecewa jika kau telah berani berharap. Jika aku tak datang, jangan pernah mencariku atau menungguku. Jika aku datang, mungkin takdir berpihak pada kita. Terima kasih atas tissunya kemarin.”

Tiba-tiba sebuah perasaan menyeruak ke dalam hatiku. Entah perasaan macam apa aku tak pernah menyadarinya. Seperti takut akan kehilanganmu untuk waktu yang tak pernah ku tahu.

Kau pun segera berbalik badan, kembali ke arah kau datang tadi.

“Tunggu, siapa namamu?”

Kau menghentikan langkahmu, “Namaku berarti senja. Namamu berarti lautan kan ?” ujarmu sambil tersenyum manis.

“Bagaimana kau tahu namaku? Aku belum memperkenalkan diri. Kita baru kemarin bertemu.”
Kau sungguh membuatku bingung kala itu.

“Sudahlah, aku tahu. Aku tahu tanpa kau harus tahu. Aku pulang dulu.”

Kau meninggalkanku yang sedang bingung seorang diri. Aku merasa telah dicurangi. 1-0 untukmu. Tunggu saja akan kubalas esok.

***

Tak ingin kalah darimu, aku mencari tahu tentangmu. Bertanya pada penduduk sekitar. Akhirnya kutahu, namamu Ina. Ina dalam bahasa sansekerta berarti matahari pagi atau senja. Seperti katamu kemarin. Baru kutahu juga, kau tinggal bersama ibumu, berdua saja di rumah sederhana. Kata mereka, kau adalah orang yang pendiam namun sangat baik. Kau jarang sekali keluar rumah kecuali saat pagi buta dan sore menjelang senja. Kau sibukkan hari-harimu dengan merawat ibumu yang sakit dan menjahit pakaian untuk menyambung hidup. Seorang anak kecil memberi tahuku bahwa ia seringkali melihatmu di tepi pantai saat senja. Ternyata ritualmu itu memang kau lakukan sejak lama. Baiklah, sore ini aku tak akan kalah darimu. Kubawa kamera digitalku bersama tripodnya untuk mengabadikan senja sore nanti. Cuaca hari ini cerah, kuharap kan seperti kemarin. Hari ini aku memang mempersiapkan diri untuk bertemu denganmu. Deg-degan juga ya menunggumu di sini.

Senja mulai menampakkan rupanya. Kali ini lebih indah dari senja kemarin. Namun kau tak jua muncul di sini. Untuk mengusir rasa bosan karena menunggu, aku abadikan lukisan alam ini dengan kameraku. Ina...kenapa kau lama sekali.

Lama-lama aku bosan menunggumu. Di tengah kebosanan itu, tiba-tiba aku teringat kata-katamu kemarin. “Jangan menungguku.” Apakah kau benar-benar tak datang sore ini? Bukankah senja ini yang selalu kau tunggu-tunggu? Apakah ia yang berjanji akan menjemputmu saat senja telah menepati janjinya? Lalu kau mematahkan harapanku untuk kembali bertemu denganmu?

Seorang anak yang kutemui tadi, tiba-tiba mendapatiku di tempat kuberdiri saat ini. Ia bilang, kau dan ibumu telah pergi. Entah ke mana. Katanya seseorang telah datang dengan mobil pajero putih untuk menjemput mereka. Tak ada satupun tetangga yang tahu ke mana perginya dirimu.

Hatiku seperti ada yang hilang. Hilang bersama ketidakhadiranmu di sini. Hilang bersama harapanku yang kau patahkan, untuk melihat senja yang indah ini sekali lagi bersamamu. Mungkin memang benar katamu, aku tak perlu banyak berharap untuk bisa menemuimu lagi.

Senja dan lautan di hadapanku kini, pelan-pelan mulai berbincang padaku. Ada pesan yang ia sampaikan padaku. Pesan yang mereka dapatkan darimu kemarin. Mereka bilang, kau menitipkan salam untukku. Menitipkan lagu perpisahan. Menitipkan melankolia ini.

Entah kenapa aku hanya ingin menunggumu. Menunggumu yang entah kapan akan kembali ke sini. Atau mungkin, suatu hari nanti kita akan bertemu di pantai yang lain, pada senja yang lain. Seperti katamu kemarin, jika kita bertemu lagi, mungkin takdir berpihak pada kita. Pada senja dan laut. Seperti halnya senja yang menghampiri, pertemuan kita yang teramat singkat, membuatku ingin mengenangmu dan menghargai setiap perjalanan yang kulalui ini.

 “Bipbipbipbip..”

Suara ponsel dalam tasku menghentikan lamunanku. Sebuah pesan masuk.

“Samudera, sampai mana perkembangan novelmu? Kalau bisa bulan ini selesai ya. Can’t wait to read your  crazy thought. Hohoho :p”

 Pesan dari editor novelku yang cerewet. Hmm… waktuku di sini hampir habis. Saatnya kembali ke rutinitas semula.

“As soon as possible. You will get melancholic touch on my next project. See you. Maluku benar-benar membuatku terpesona dan tak ingin pulang. You must visit this place someday. Hahaha.”

Aku kembali berdiri di tepi pantai ini. Mengucapkan salam perpisahan sekaligus terima kasih padamu, gadis senja misterius, pada senja, pada lautan yang namanya dititipkan pada namaku, pada langit merah dan awan berarak, pada takdir, padaNya yang mempertemukan kita, di suatu senja di tempatku berpijak. Harapanku kini kembali cerah, secerah senja di hadapanku.  Semoga kita bertemu lagi. 

Suatu hari nanti.

21112013
photo from Ryan Rinaldy                                         https://www.facebook.com/photo.php?fbid=698076640210813&set=a.161849440500205.31907.100000254507075&type=1&theater

2 comments:

  1. Semoga takdir berpihak pada mereka.. I love it so much.. Tulisanmu menyentuh sekali.

    ReplyDelete
  2. :') thank you. Terima kasih sudah berkunjung. Aku harap juga demikian :)

    ReplyDelete