Thursday, 11 December 2014

Di Boulevard ini....

Di boulevard ini…
Sepasang suami istri berjalan-jalan santai
Menuntun putrinya yang bermata sipit berambut ikal
Menggendong ksatrianya yang berpipi gembil
Menikmati pagi yang cerah dan udara yang segar

Di boulevard ini….
Rumah – rumah mewah bergaya kolonial berdiri megah
Berhalaman luas, terlihat angkuh namun kesepian
Entah penghuninya ada atau tiada

Di boulevard ini....
Putri kecil tadi telah tumbuh menjadi remaja
Dilewatinya jalanan boulevard ini setiap hari
Sambil mengenakan baju putih biru
Dengan tas ransel penuh buku-buku
Dipayungi rimbunnya dedaunan pohon palem yang tak pernah layu

Di boulevard ini ….
Orang-orang tumpah ruah dalam pesta rakyat dan pawai
Mereka berdandan ala tempo doeloe
Orang – orang tua menikmati nostalgia sambil mendengarkan lagu keroncong
Para dalang menggelar wayangnya, menceritakan kisah-kisah filosofis
Anak-anak muda bermain egrang, gobak sodor, sambil tertawa riang
Mengenang masa kecil mereka yang telah usang
Para pedagang menghadirkan aneka jajanan yang mengandung kenangan

Kenangan….
kenangan putri kecil itu adalah kenanganku

Aku yang tertawa riang bersama sahabat-sahabat
Di pesta rakyat
Aku yang berjalan seorang diri di bawah hujan lebat
Dengan perasaan yang berat
Aku yang berlari di bawah mentari pagi
Hanya untuk melepaskan diri dari sepi
Aku yang melangkah gontai saat santai
Hanya untuk sekedar cari inspirasi

Di boulevard ini...
Ada rumah ilmu bernama perpustakaan umum
Ada rumah kenangan bernama museum
Ada rumah makan yang akan membuatmu rindu tuk kembali
Ada rumah ibadah yang mengingatkanmu bahwa hidup tak ada yang kekal abadi

Di boulevard ini....
Setiap minggu pagi tak pernah sepi
Aneka olahraga mereka lakukan di sini
Bersepeda, bersepatu roda, senam, berpapan seluncur ataupun hanya sekedar lari pagi
Semua terlihat ceria bahagia berseri-seri

Di boulevard ini…
Aku masih terus berjalan kadang berlari
Menikmatnya bersamamu, bersamanya, bersama kalian atau bersama sepi
Aku mungkin akan pergi
Tapi aku tak pernah lupa tuk kembali

Di boulevard ini...

                                                                   
Pagi yang mendung,                                                                                                             11.12.14

    

Monday, 30 June 2014

Cicit cuiitt di Penghujung Juni


Pernahkah kau merasa lelah melakukan hal-hal yang dulu pernah kau sukai dan kau anggap sebagai passionmu? Pernahkah kau merasa bosan yang teramat sangat pada kehidupan sehari-hari yang kau lalui? Pernahkah kau merasa kehilangan semangat karena kemonotonan harian yang membuatmu merasa seperti robot?
Aku pernah!

Saat ini aku merasakannya. Apa yang kulakukan sekarang tak pernah muncul dalam otak idelisku dulu. Saat – saat di mana aku bekerja. Apakah semua orang yang bekerja akan mengalami hal ini ? mengalami kebosanan yang sangat karena ritme dan rutinitas harian yang sama dan berulang-ulang ?  Ketika aku mengeluhkan ini, aku sering dianggap kurang bersyukur, seharusnya aku bersyukur dengan apa yang aku lalui, mendapatkan pekerjaan itu bagi sebagian orang bukanlah hal mudah, tapi aku yang sekali ‘tembak’ langsung diterima, mengapa mudah sekali mengeluh ? Apakah karena pekerjaan yang aku lalui sekarang tak sama dengan ekspektasi awalku ? seharusnya, ya seharusnya aku tak mengeluh dan harus paham konsekuensi yang aku dapatkan dari keputusanku untuk menjalani pekerjaan ini.

Berkali-kali pikiran bosan, suntuk, dan yang buruk-buruk itu begentayangan di kepalaku, berkali-kali pula berusaha kulawan dengan gelombang positif dan hal-hal yang seharusnya aku syukuri. Namun entah mengapa, pikiran buruk itu seperti bahaya laten, yang sewaktu-waktu dapat muncul kembali dan membuatku merasa berat menjalani hari-hariku. Aku merasa tidak ‘bebas’. Orang tuaku selalu membebaskanku memilih apapun, tentunya yang bertanggung jawab, karena mereka yakin aku telah paham dengan resiko yang aku tanggung nantinya. Kenapa di sini aku seperti merasa ‘terkungkung’ ? Apakah karena masalah tempat yang memang jauh dari pusat kota? Apakah karena aku tak bisa bebas memilih untuk masa depanku? Apakah hari libur yang terlalu dibatasi sehingga tidak bisa menyalurkan hobi travelingku? Yang jelas aku merasa ‘hampa’. Terlihat sok sibuk, padahal tak banyak pekerjaan yang harus kukerjakan. Kadang aku merasa ‘useless’, aku memang suka sekali merasa bahagia jika dibutuhkan. Karena dengan itu aku jadi merasa bermanfaat. Apalagi tidak ada seseorang yang spesial yang menyemangatiku, hmm.. (oke, lupakan). Keluar dari pekerjaan sekarang? Rasanya tak akan mudah. Tak ada alasan yang bisa mendukungku. Sebentar lagi juga akan program yang akan membuat hariku sibuk, entah kapan. Lagipula aku juga tidak enak untuk ‘menghancurkan’ impian direkturku yang sudah mulai bersinar lagi dengan kedatanganku di sini.

Well, sebenarnya aku cukup kerasan di sini, teman kerja yang baik, murid-murid yang menyenangkan, ibu direktur yang sangat baik dan dermawan, serta lingkungan religius yang kondusif yang tak hanya memikirkan materi duniawi tetapi juga untuk kepentingan setelah mati. Kata ibuku, aku tidak boleh egois. Hidup dengan banyak orang membutuhkan tingkat kedewasaan yang tak hanya dinilai dari bertambahnya umur saja, tetapi juga kedewasaan berpikir dan memahami sesama. Aku harus bersabar dan menahan rasa egoisme. Masih banyak impian yang harus kukejar. Memikirkan impianku terus-menerus memberikan 2 efek pada diriku. Pertama aku merasa bahagia karena pikiranku sedikit terslimurkan kalo kata orang jawa,hehe. Oleh karena itu aku juadi semakin termotivasi untuk menggapai impianku. Kedua, aku merasa suntuk. Apalagi mengetahui dari jejaring sosial bahwa teman-temanku telah mewujudkan cita-citanya dan telah melesat jauh dari terakhir kali kubertemu mereka. Mungkin aku merasa iri, ya tentu saja. Aku bahkan kadang menyalahkan diriku yang terdampar di sini. Entahlah.

Ya sudahlah, aku memang harus bersabar. Jika memang ini adalah jalan yang harus aku tempuh untuk mewujudkan impianku, semoga petunjukNya dan kasih sayangNya tak pernah habis untukku dalam menelusuri jalan ini. Ketika aku ingin cerita saja, aku tak tahu siapa yang akan kujadikan ‘tempat sampah’, oleh sebab itu aku menulis di sini. Tak apa, begini terasa ringan, untuk mengacaukan pola harianku. Bagaimanapun aku tak mau terjebak dalam zona nyaman. Semoga di sini aku dapat meningkatkan prestasi di bulan Ramadhan yang beberapa tahun terakhir ini kurang ‘mengena’ buatku.

Bismillah.
Hari pertama kerja di bulan Romadhon.
Penghujung Juni, 30062014. 

Wednesday, 18 June 2014

Catatan Pertengahan tahun 2014.



Hari demi hari berlalu. Banyak hal-hal yang kualami belakangan ini, namun aktivitas menulisku semakin padam. Bahkan untu sekadar menulis blog pun tidak sempat. Tidak sempat? Ah itu hanya alibi, akal-akalanku saja. Sebenarnya aku punya banyak waktu untuk menulis, namun entah mengapa kata-kata dalam kepalaku seakan membeku, tak seperti dulu yang bisa mengalir seperti air sungai di musim penghujan. Semenjak tulisan fiksi yang kukerjakan bersamaan dengan skripsi yang kukirimkan pada penerbit ditolak, aku enggan untuk meneruskan aktivitas yang pernah kuanggap sebagai passionku. Tampaknya kini harus kupikirkan kembali makna passion itu, apakah benar itu passionku? Apakah benar saat menjalaninya aku benar-benar seperti menemukan duniaku? Aku terus bertanya untuk menemukan jawabannya.
Beberapa hari yang lalu aku membaca ulang notes-notes di facebookku. Membaca postingan notes beserta komentar-komentar teman-teman memberikan semangat tersendiri buatku. Lucu sekali mengingatnya. Saran mereka, tanggapan mereka tentang karya yang pernah kubuat, baik berupa cerpen, puisi bahasa prancis ataupun kontemplasi dari hal-hal sederhana sehari-hari. Sungguh aku rindu saat-saat itu, saat-saat di mana aku masih sering melakukan diskusi sastra bersama kawan-kawan komunitas pegiat sastra, mata pena, LPM Mimesis ataupun klub penulisan di himpunan.
Kebekuan dalam otakku belum juga mencair, hingga suatu hari aku membaca blog salah satu kawan terbaikku yang memang lihai dalam menulis. Kerinduan itu membuncah lagi, dan kemudian aku membaca sebuah novel yang memang kuakui, diksi dan tata bahasa yang digunakan penulisnya sangat menggelitik syaraf kata-kata di kepalaku untuk menulis. Memang benar, stimulus untuk menulis adalah dengan membaca. Semakin banyak dan sering kita membaca, semakin banyak pula stok kata-kata yang ditampung di kepala kita, tinggal otak kita ini mampu menginstruksikan pada jari-jemari untuk merangkainya menjadi kalimat demi kalimat. Aku pun masih menyimpan naskah novel yang belum selesai, entah mau kubawa ke mana rasanya rasa percaya diriku menguap.
Demikian juga saat ini, di pertengahan 2014 ini, banyak hal yang seharusnya mulai aku persiapkan, namun tak kunjung kueksekusi. Ada banyak rencana di kepalaku apa yang akan kulakukan di 2015 mendatang dan di sisa 2014 ini rasanya tak ada hal yang ingin kukejar layaknya tahun lalu. Tahun ini aku menyebutnya zona nyaman. Sebenarnya aku tak terlalu suka dengan keadaan di zona nyaman karena tantangannya lambat-laun mulai menurun bahkan hilang. Rasanya tak ada yang membuatku bersemangat dan berapi-api. Aku takut terlena dalam buaian kenyamanan yang ketika nanti kita harus keluar dari zona itu, kita akan merasa berat. Aku tak ingin berlama-lama dalam zona nyaman ini, aku ingin petualangan yang mampu membuat dadaku berdesir dan mataku berkilat-kilat penuh semangat. Ketika melihat kawan-kawanku yang sukses meraih impiannya di usia muda, aku pun turut bahagia sekaligus ingin seperti mereka. Aku tak ingin menyia-nyiakan waktu yang diberikan Tuhan padaku ini dengan hal yang sia-sia. Aku tak pernah tahu kapan waktu dalam dimensiku akan berhenti. Aku ingin kembali berkarya. Menyemarakkan lagi dunia literasi. Semoga masih ada kesempatan untukku. Semangat Anna Semangka !
18062014





                                                                                                                                                                                            . 

Tuesday, 28 January 2014

Dialog Sepi





Jangan kau rampas sepi ini
Dengan segala hingar-bingarmu

Jangan kau kira sepi ini membunuhku
Justru dengan segala riuhnya menguatkanku

Sepimu bukan sepiku
Sepiku bukan pula sepimu
Kau terjebak dalam sepi
Yang kau buat sendiri
Aku berdialog dengan sepi
Dan Sesekali menertawakanmu

Pada bayangan kita yang terus menyalahkan sepi
ada riuhnya rindu yang bergemuruh deras menggilas mimpi
Ada euforia yang tak pernah berhenti
Mencari simfoni di balik tragedi
Ada suara yang lirih
Mencari setiap arti

Sepi mengajarkan Hati
Untuk selalu bernyanyi meski ia terus melingkupi
Dari tepi ke tepi
Jadi biarkan dialog ini mengalir
Bersama sepi yang selalu hadir
Entah kapan berakhir

28012014

Wednesday, 22 January 2014

Poème De L’Amour.



Poème De L’Amour. (1924)

Par Anna De Noailles. (1876-1933)


I

Ce fut long, difficile et triste

De te révéler ma tendresse;

La voix s'élance et puis résiste,

La fierté succombe et se blesse.



Je ne sais vraiment pas comment

J'ai pu t'avouer mon amour;

J'ai craint l'ombre et l'étonnement

De ton bel oeil couleur du jour.

Je t'ai porté cette nouvelle!



Je t'ai tout dit! je m'y résigne;



Et tout de même, comme un cygne,

Je mets ma tête sous mon aile...



II

Comprends que je déraisonne,

Que mon coeur, avec effroi,

Dans tout l'espace tâtonne

Sans se plaire en nul endroit...



Je n'ai besoin que de toi

Qui n'as besoin de personne!



Terjemahan bahasa Indonesia :

Puisi Cinta (1924)
oleh Anna de Noailles  (1876-1933)
diterjemahkan oleh Anna Rakhmawati 
Telah lama, susah dan sedih ini kurasakan

Tuk ungkapkan rasaku padamu

Suara datang menyerbu lalu tertahan

Kebanggaan telah kalah dan terluka



Entah bagaimana ku tak benar-benar tahu

Ku dapat nyatakan cintaku padamu

Ku takut akan bayangan dan rasa heran

Dari mata indahmu yang menyiratkan warna hari

Ku kan bawakan kabar ini, padamu



Tlah ku katakan semua padamu!

Aku pasrah;



Dan semuanya hanya, bagai seekor angsa

Kuletakkan kepalaku di bawah sayapku


II

Pahamilah bahwa ku meracau,

Bahwa hatiku, dengan kegelisahan

Dalam ruang hampa meraba-raba

Tanpa bisa bahagia di tempat apapun



Ku hanya butuhkan dirimu

Yang tak membutuhkan seorangpun





Puisi ini merupakan cuplikan 2 bab awal dari 175 bab puisi "Poème De L’Amour" yang ditulis oleh seorang penyair dan penulis asal Prancis, Anna de Noailles yang terlahir dengan nama Princess Anna Elisabeth Bibesco-Bassaraba de Brancovan. Ia menikah dengan Mathieu Fernand Frédéric Pascal de Noailles (1873–1942) yang merupakan anak ke-4 dari Duke ke-7 de Noailles dan menjadi bangsawan Paris. Anna menulis 3 novel, sebuah autobiografi dan beberapa koleksi puisi. Ia merupakan wanita pertama yang menjadi Commander of the Legion of Honor,wanita pertama yang menerima penghargaan tersebut di Royal Belgian Academy of French Language and Literature dan ia dianugerahi "Grand Prix" Academie Francaise pada 1921.



sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Anna_de_Noailles





Monday, 20 January 2014

Bianglala Pagi Hari

Pagi masih setia dengan dingin. Matahari belum menampakkan sinarnya karena mendung masih menggelayut di langit kota kelahiranku. Namun demikian, aku sudah harus kembali bertugas kembali ke rutinitasku di rantau. Bis yang akan membawaku kembali telah siap di pintu terminal. 

Kulihat Ayah masih menunggu hingga bis yang kutumpangi berjalan. Ayah selalu mengantarku ke terminal meski badannya kurang sehat. Ayahku yang selalu mencintai dalam diamnya, selalu bertanya padaku bagaimana keadaanku di sini, rencana masa depan, apa yang kudapat dsb. Pertanyaan ayah kujawab dengan curhatan dan tenggorokan yang tercekat. Ada kabut yang samar  menutup cerita masa depan. Ada air mata yang ingin tumpah namun kutahan. Padahal sebelumnya, ketika aku masih bersekolah atau kuliah, aku lebih sering curhat pada ibu. Kini pada ayah, aku menceritakan segala suka duka di rantau, rencana masa depan, dan pelajaran berharga yang kudapat dari sini. Ayah pun tak henti-hentinya menasehatiku dan mengingatkanku untuk selalu dekat padaNya. Ya, walaupun sudah menginjak hampir 23 tahun, aku tetaplah “beloved little daddy’s daughter” mungkin sampai nanti aku memiliki daughter sendiri.
Hari ini, 20 Januari, tepat 3 bulan semenjak kepergianku untuk merantau. Dengan melewati rute yang sama dengan pertama kalinya kukepak koper dan kupanggul ransel, aku berangkat kembali ke jombang. Banyak hal yang telah kupelajari di tempatku sekarang. Aku lebih suka menyebutnya belajar daripada bekerja, karena pada intinya aku belajar bekerja. Belajar untuk hidup mandiri dan tentu saja belajar untuk lebih memaknai kehidupan dan bermasyarakat. Kini aku tahu, apa yang harus kulakukan. Aku yang biasanya kerap kali mudah bosan terhadap suatu rutinitas, kini aku akan berusaha untuk mencari “alasan” untuk tetap bertahan dan terus berkarya. Alasan-alasan itulah yang harus kutemukan untuk membuatku “hidup” dalam hari-hariku yang berbeda dengan saat menjadi mahasiswa yang dinamis dan tak pernah bisa diam. Apalagi pada kenyataannya, tidak ada suatu pekerjaan yang benar-benar enak. Semua selalu ada resiko dan pengorbanannya karena tak semua kenyataan yang terjadi adalah yang kita harapkan sebelumnya. Tinggal bagaimana kita menyikapi dan menghadapinya. Aku berharap di sini, ilmu yang telah kupelajari menjadi bermanfaat. Bukankah sebaik-baiknya orang adalah orang yang bermanfaat bagi sekitarnya? Semoga. 

Hujan gerimis mewarnai pagi ini. Sinar matahari tampak bersinar cukup terang di Kota Batu. Namun, Gunung Panderman tampak masih dipeluk oleh kabut putih dan suhu udara yang rendah. Mendung masih menggantung tebal di atas Gunung Panderman. Tak disangka, sebuah pelangi melengkung indah berlatar belakang hutan dan gunung. Indah sekali ^^ Quelle magnifique! Aku sangat menikmati pemandangan tersebut. Aku teringat lukisan yang pernah kubuat semasa kuliah. Tentang bianglala berlatar belakang gunung dan hutan yang melengkung di antara derasnya air terjun. Bianglala, masih saja terus menginspirasiku untuk berkarya. Bianglala harapan.

Masih ingatkah secuil lirik lagu hujan bulan Desember dari Efek Rumah Kaca? “Seperti pelangi setia menunggu hujan redaaaa” . Aku ingin seperti pelangi yang setia. Menyeruak di antara tarian hujan.  Tetap setia dalam berkarya. Tetap setia dalam menunggu kejutan masa depan yang kuusahakan kini. Teruntukmu, pengagum hujan. Aku tahu hujan selalu membuatmu bahagia. Rintik gerimisnya romantis mengundang nostalgia lama. Namun ada kalanya derasnya hujan menjelma bencana yang miris. Namun yakinlah, pelangi itu akan muncul di saat cahaya sinar mentari harapan itu kau biarkan menembus hatimu yang dingin oleh hujan bahkan badai yang kau lalui. Aku percaya itu. Seperti aku percaya pagi ini menawarkan kejutan manis, walau gerimis, dan kadang kala kita harus menangis untuk mengerti arti bahagia. 

Tetap semangat menyambut pelangi hari esok. ^^
20012014.