Monday, 20 January 2014

Bianglala Pagi Hari

Pagi masih setia dengan dingin. Matahari belum menampakkan sinarnya karena mendung masih menggelayut di langit kota kelahiranku. Namun demikian, aku sudah harus kembali bertugas kembali ke rutinitasku di rantau. Bis yang akan membawaku kembali telah siap di pintu terminal. 

Kulihat Ayah masih menunggu hingga bis yang kutumpangi berjalan. Ayah selalu mengantarku ke terminal meski badannya kurang sehat. Ayahku yang selalu mencintai dalam diamnya, selalu bertanya padaku bagaimana keadaanku di sini, rencana masa depan, apa yang kudapat dsb. Pertanyaan ayah kujawab dengan curhatan dan tenggorokan yang tercekat. Ada kabut yang samar  menutup cerita masa depan. Ada air mata yang ingin tumpah namun kutahan. Padahal sebelumnya, ketika aku masih bersekolah atau kuliah, aku lebih sering curhat pada ibu. Kini pada ayah, aku menceritakan segala suka duka di rantau, rencana masa depan, dan pelajaran berharga yang kudapat dari sini. Ayah pun tak henti-hentinya menasehatiku dan mengingatkanku untuk selalu dekat padaNya. Ya, walaupun sudah menginjak hampir 23 tahun, aku tetaplah “beloved little daddy’s daughter” mungkin sampai nanti aku memiliki daughter sendiri.
Hari ini, 20 Januari, tepat 3 bulan semenjak kepergianku untuk merantau. Dengan melewati rute yang sama dengan pertama kalinya kukepak koper dan kupanggul ransel, aku berangkat kembali ke jombang. Banyak hal yang telah kupelajari di tempatku sekarang. Aku lebih suka menyebutnya belajar daripada bekerja, karena pada intinya aku belajar bekerja. Belajar untuk hidup mandiri dan tentu saja belajar untuk lebih memaknai kehidupan dan bermasyarakat. Kini aku tahu, apa yang harus kulakukan. Aku yang biasanya kerap kali mudah bosan terhadap suatu rutinitas, kini aku akan berusaha untuk mencari “alasan” untuk tetap bertahan dan terus berkarya. Alasan-alasan itulah yang harus kutemukan untuk membuatku “hidup” dalam hari-hariku yang berbeda dengan saat menjadi mahasiswa yang dinamis dan tak pernah bisa diam. Apalagi pada kenyataannya, tidak ada suatu pekerjaan yang benar-benar enak. Semua selalu ada resiko dan pengorbanannya karena tak semua kenyataan yang terjadi adalah yang kita harapkan sebelumnya. Tinggal bagaimana kita menyikapi dan menghadapinya. Aku berharap di sini, ilmu yang telah kupelajari menjadi bermanfaat. Bukankah sebaik-baiknya orang adalah orang yang bermanfaat bagi sekitarnya? Semoga. 

Hujan gerimis mewarnai pagi ini. Sinar matahari tampak bersinar cukup terang di Kota Batu. Namun, Gunung Panderman tampak masih dipeluk oleh kabut putih dan suhu udara yang rendah. Mendung masih menggantung tebal di atas Gunung Panderman. Tak disangka, sebuah pelangi melengkung indah berlatar belakang hutan dan gunung. Indah sekali ^^ Quelle magnifique! Aku sangat menikmati pemandangan tersebut. Aku teringat lukisan yang pernah kubuat semasa kuliah. Tentang bianglala berlatar belakang gunung dan hutan yang melengkung di antara derasnya air terjun. Bianglala, masih saja terus menginspirasiku untuk berkarya. Bianglala harapan.

Masih ingatkah secuil lirik lagu hujan bulan Desember dari Efek Rumah Kaca? “Seperti pelangi setia menunggu hujan redaaaa” . Aku ingin seperti pelangi yang setia. Menyeruak di antara tarian hujan.  Tetap setia dalam berkarya. Tetap setia dalam menunggu kejutan masa depan yang kuusahakan kini. Teruntukmu, pengagum hujan. Aku tahu hujan selalu membuatmu bahagia. Rintik gerimisnya romantis mengundang nostalgia lama. Namun ada kalanya derasnya hujan menjelma bencana yang miris. Namun yakinlah, pelangi itu akan muncul di saat cahaya sinar mentari harapan itu kau biarkan menembus hatimu yang dingin oleh hujan bahkan badai yang kau lalui. Aku percaya itu. Seperti aku percaya pagi ini menawarkan kejutan manis, walau gerimis, dan kadang kala kita harus menangis untuk mengerti arti bahagia. 

Tetap semangat menyambut pelangi hari esok. ^^
20012014.

No comments:

Post a Comment