Pagi masih setia dengan dingin. Matahari belum menampakkan
sinarnya karena mendung masih menggelayut di langit kota kelahiranku. Namun
demikian, aku sudah harus kembali bertugas kembali ke rutinitasku di rantau.
Bis yang akan membawaku kembali telah siap di pintu terminal.
Kulihat Ayah masih menunggu hingga bis yang kutumpangi
berjalan. Ayah selalu mengantarku ke terminal meski badannya kurang sehat. Ayahku yang selalu mencintai dalam diamnya,
selalu bertanya padaku bagaimana keadaanku di sini, rencana masa depan, apa
yang kudapat dsb. Pertanyaan ayah kujawab dengan curhatan dan tenggorokan yang
tercekat. Ada kabut yang samar menutup
cerita masa depan. Ada air mata yang ingin tumpah namun kutahan. Padahal
sebelumnya, ketika aku masih bersekolah atau kuliah, aku lebih sering curhat
pada ibu. Kini pada ayah, aku menceritakan segala suka duka di rantau, rencana
masa depan, dan pelajaran berharga yang kudapat dari sini. Ayah pun tak
henti-hentinya menasehatiku dan mengingatkanku untuk selalu dekat padaNya. Ya,
walaupun sudah menginjak hampir 23 tahun, aku tetaplah “beloved little daddy’s daughter” mungkin sampai nanti aku memiliki
daughter sendiri.
Hari ini, 20 Januari, tepat 3 bulan semenjak kepergianku
untuk merantau. Dengan melewati rute yang sama dengan pertama kalinya kukepak
koper dan kupanggul ransel, aku berangkat kembali ke jombang. Banyak hal yang
telah kupelajari di tempatku sekarang. Aku lebih suka menyebutnya belajar
daripada bekerja, karena pada intinya aku belajar bekerja. Belajar untuk hidup
mandiri dan tentu saja belajar untuk lebih memaknai kehidupan dan
bermasyarakat. Kini aku tahu, apa yang harus kulakukan. Aku yang biasanya kerap
kali mudah bosan terhadap suatu rutinitas, kini aku akan berusaha untuk mencari
“alasan” untuk tetap bertahan dan terus berkarya. Alasan-alasan itulah yang
harus kutemukan untuk membuatku “hidup” dalam hari-hariku yang berbeda dengan
saat menjadi mahasiswa yang dinamis dan tak pernah bisa diam. Apalagi pada kenyataannya, tidak ada suatu pekerjaan
yang benar-benar enak. Semua selalu ada resiko dan pengorbanannya karena tak
semua kenyataan yang terjadi adalah yang kita harapkan sebelumnya. Tinggal
bagaimana kita menyikapi dan menghadapinya. Aku berharap di sini, ilmu yang
telah kupelajari menjadi bermanfaat. Bukankah sebaik-baiknya orang adalah orang
yang bermanfaat bagi sekitarnya? Semoga.
Hujan gerimis mewarnai pagi ini. Sinar matahari tampak
bersinar cukup terang di Kota Batu. Namun, Gunung Panderman tampak masih
dipeluk oleh kabut putih dan suhu udara yang rendah. Mendung masih menggantung
tebal di atas Gunung Panderman. Tak disangka, sebuah pelangi melengkung indah
berlatar belakang hutan dan gunung. Indah sekali ^^ Quelle magnifique! Aku sangat menikmati pemandangan
tersebut. Aku teringat lukisan yang pernah kubuat semasa kuliah. Tentang
bianglala berlatar belakang gunung dan hutan yang melengkung di antara derasnya
air terjun. Bianglala, masih saja terus menginspirasiku untuk berkarya. Bianglala
harapan.
Masih ingatkah secuil lirik lagu hujan bulan Desember dari
Efek Rumah Kaca? “Seperti pelangi setia
menunggu hujan redaaaa” . Aku ingin seperti pelangi yang setia. Menyeruak
di antara tarian hujan. Tetap setia
dalam berkarya. Tetap setia dalam menunggu kejutan masa depan yang kuusahakan
kini. Teruntukmu, pengagum hujan. Aku tahu hujan selalu membuatmu bahagia.
Rintik gerimisnya romantis mengundang nostalgia lama. Namun ada kalanya derasnya hujan menjelma bencana
yang miris. Namun yakinlah, pelangi itu akan muncul di saat cahaya sinar
mentari harapan itu kau biarkan menembus hatimu yang dingin oleh hujan bahkan
badai yang kau lalui. Aku percaya itu. Seperti aku percaya pagi ini menawarkan
kejutan manis, walau gerimis, dan kadang kala kita harus menangis untuk
mengerti arti bahagia.
Tetap semangat menyambut pelangi hari esok. ^^
20012014.
No comments:
Post a Comment