Thursday, 5 August 2021

Lebaran di Negeri Atas Awan

 

Bismillah….

Semoga dengan menulis hal-hal yang membuatku bahagia bisa menjadi self-healing bagiku menghadapi pandemi yang belum kunjung berakhir ini. 


Momen lebaran 2018 lalu, aku pertama kalinya berkunjung ke keluarga besar suamiku di Pasirian, Lumajang. Saat itu, kami berdua memutuskan naik motor bersama adik dan sepupu. Sementara bapak ibu mertua naik mobil bersama para saudara dari Jakarta. Perjalanan Malang-Lumajang dengan motor ternyata cukup seru karena jalanan didominasi oleh pepohonan, bukit, jalan berkelok, sungai dan pedesaan via dampit. Kami pun sempat beristirahat di piket nol yang terdapat beberapa warung dan juga pemandangan bukit bebatuan dan sungai. Sayangnya jika musim hujan, jalanan di sini sering longsor sehingga harus berhati-hati. 


Sesampainya di Pasirian, memasuki desa Bades, rumah keluarga kami, ternyata motor kami mogok. Saat itu, suamiku meminjam motor sahabatnya yang sedang tidak dipakai karena mudik. Yahh..mana panas banget di Lumajang. Akhirnya kami harus menepi dulu dan aku terpaksa harus ikut di mobil saudaraku walaupun harus uyel-uyelan. Hehehehe. 


Kami menginap di rumah saudara bapak mertua yang cukup besar. Seru sekali karena saudara-saudara kami juga menginap di sana dan dibagi ke beberapa rumah sekitarnya yang masih termasuk saudara juga. Jadi ingat zaman kecil saat liburan sekolah atau saat lebaran, kami menginap di rumah nenek kakek di desa. Kruntelan kayak pindang. 


Seperti pada umumnya, kami bersilaturahim ke rumah-rumah keluarga yang lainnya. Sambil mengenalkan aku, anggota baru keluarga ini karena saat itu adalah lebaran pertamaku bersama suami. Eaahahaha. Selain itu  kami juga diajak ke kebun jeruk. Seneng banget karena di kota, kami nggak pernah ikut panen jeruk rame-rame seperti ini. Seruuuu!!! Kami penuhi keranjang dan kresek dengan jeruk-jeruk unduhan yang rasanya manis dan segar. 


Hari ke-2 di Lumajang, suami mengajak ke B-29 bersama dengan tim motor. Motor yang kami kendarai sudah sembuh. Kami berdua bersama sepupu suami dan adikku. Ibu mertua agak khawatir namun suami meyakinkan bahwa jalan yang akan kami lalui sudah bagus dan beraspal. Setelah sarapan dan berpamitan berangkatlah kami ke B-29. Aku belum pernah ke sana dan tentu saja aku sangat bersemangat walaupun hanya pakai celana training senam wkwkwk. Kami berangkat melalui desa Senduro. Fisik jalan sudah beraspal dan terus menanjak. Kami melewati Pura Giri Amertha yang merupakan tempat sembahyang pemeluk agama hindu suku Tengger. 


Sesampainya kami di pintu masuk menuju B-29, ada pangkalan ojek. Pengunjung tidak diperkenankan mengendarai mobil atau motormatic menuju puncak. Mereka menyediakan tumpangan ojek. Bersyukur motor yang kami kendarai cukup tangguh untuk medan seperti ini. 


Here we go, petualangan dimulai saat saya mulai merasa pusing dengan jalan paving yang terus menanjak. Debu yang bertebaran, menambah sesak. Hati ini semakin deg-degan ketika ada kendaraan yang lewat berseberangan dengan kami. Kanan tebing, kiri jurang. Apalagi saat itu terjadi sebuah insiden kecelakaan. Seorang pemuda yang mengendarai motor matic dari atas, menabrak sebuah rumah hingga pengendaranya meninggal dan menyebabkan kerusakan pada rumah tersebut. Ngeri banget pokoknya. Tak henti-hentinya aku bersholawat dan berdoa agar kami dilindungi oleh Allah, selamat sampai di rumah. Ternyata memang benar, perjalanan menuju puncak tak ada yang mudah dan dalam setiap prosesnya haruslah kita ingat pada Yang Maha Tinggi. 


Jalanan aspal dan paving pun habis. Saatnya kami berjibaku dengan jalan tanah dan debu. Saat itu aku lebih memilih turun dan berjalan kaki. Ngeri kalau naik motor. Lumayanlah sambil olahraga siang-siang. Rasanya panas ya tapi udaranya dingin. Sampai akhirnya kami tiba di tempat parkir dengan tulisan B-29. Kukira itu puncak, ternyata puncak sebenarnya masih harus jalan kaki ke atas beberapa meter lagi melewati undak-undak. OMG! Tapi tenang saja, di sana ada warung-warung yang menjual makanan dan minuman.



Akhirnya setelah kami sampai di puncak yang berbentuk dataran seperti lapangan kecil, kami disuguhi pemandangan yang luar biasa. Menakjubkan!!! Amazing! Masya Allah. Di satu sisi, kami bisa melihat Gunung Bromo, Gunung Batok, dan Gunung Semeru. Di sisi lainnya kami disuguhi pemandangan awan yang berjalan lebih rendah dari kita. Yups! Pantas saja B-29 dengan ketinggian 2900 mdpl ini disebut sebagai Negeri Di atas awan. Tidak hanya itu saja, dari sisi lainnya lagi kita bisa menikmati hijaunya perkebunan miring yang ditanami bawang merah, kentang, kol dan tanaman lain yang dapat tumbuh di dataran tinggi. Kelelahan tadi seakan sirna dengan pemandangan yang kita dapatkan. Belum lagi kalau kita berkemah di sini, kita dapat menikmati matahari terbit yang cantik. Sayang kami ke sana saat siang hari. 




Setelah menikmati pemandangan dan angin sepoi-sepoi pegunungan, kami pun turun. Perjalanan turun terasa lebih cepat meskipun masih sama deg-degannya karena jalanan berliku. Kami melewati jalan pintas menuju Malang, yaitu lewat hutan menuju Ranu Pani. 


Petualangan kedua pun dimulai. Perjalanan melalui jalur ini memang lebih landai, jalan aspal yang masih bagus dan kadang berbelok, namun di sinilah tiba-tiba aku merasa ketakutan dan lelah yang sangat. Kanan kiri dikepung pepohonan dan tanaman liar. Tak ada pemandangan apapun selain itu. Jumlah kendaraan pun tidak banyak. Satu dua lewat. Lalu sepi. Hatiku mulai nggak tenang. Bosan yang kemudian berubah menjadi rasa takut. Ya memang kita tak bisa memungkiri, kita sedang berada di hutan di mana banyak hal yang tak dapat kita lihat juga berada di sana. Akhirnya kami memutuskan berhenti sejenak di tepi jalan. Istirahat. 


Setelah agak tenang, kami pun melanjutkan perjalanan. Oh ya kami di sini tidak terlalu mengukur berapa waktu yang kami tempuh karena juga berhubungan dengan kecepatan berkendara suamiku dan sepupu karena mereka cukup ngebut. Yang jelas target kami adalah keluar dari hutan TNBTS sebelum gelap. Duh ya aku nggak mbayangin apa ada orang yang lewat sini malam-malam. Jelas merinding disko. 


Kami akhirnya tiba di tempat untuk istirahat, Ranu Pani. Sebuah desa di ketinggian 2100 mdpl yang menjadi pintu gerbang menuju Mahameru. Terlihat mahameru gagah di atas sana. Saat itu tampak beberapa rombongan memanggul carrier siap mendaki. Ya Allah aku pengen!! Cita-citaku dulu bisa mendaki ke sana. Entah kapan akan tercapai, saat itu foto di gerbangnya aja udah seneng. Wkwkwkw. Oh ya kami sempat beristirahat di sebuah bangunan rumah sederhana yang menjadi markas klub pecinta alamnya sepupu. Tampak sudah lama nggak dikunjungi dan singup. Di belakangnya ada danau ranu pani yang keadaannya tampak kurang terawat. Banyak tanaman eceng gondok dan tanaman liar lainnya. Kami pun memesan minuman hangat, membeli snack dan beristirahat di rumah pani, begitulah sebutannya. Airnya di sini dingin banget kayak air kulkas. 


Setelah ashar, kami melanjutkan perjalanan melewati jurang dan tebing arah Bromo. Lalu kami sampai di jalur bromo via Pakis. Eh drama motor pun dimulai lagi. Rem motor yang kami kendarai panas. Pantes aja bau terbakar. Akhirnya kami berhenti dulu untuk mendinginkan. Aku mulai capek dan ngantuk. Ini masih di hutan ya..harap bersabar. Bersyukur saat itu kami bertemu dengan para sesepuh yang memiliki motor sama dengan kami. Orang club dan ternyata kenal dengan suami dan sepupu. Kami pun menunggu bersama sambil ngobrol di sebuah gazebo tepi jalan. Setelah itu mereka pun melanjutkan touringnya dan Alhamdulillah motor kami sudah sembuh. Sepertinya dia lelah. 


Kami melanjutkan perjalanan melalui desa Ngadas yang terkenal sangat dingin itu. Lalu kami melewati coban pelangi, dan perkebunan apel. Alhamdulillah...kami sampai di jalan utama pakis saat maghrib dan gerimis. Lalu kami berhenti untuk makan bakso kraton. Ya Allah nikmatnya setelah melakukan petualangan seru hari itu. Syukur Alhamdulillah kami pun sampai di rumah dengan selamat dan sehat.


"No road is long with good company" 

(Turkish proverb)











No comments:

Post a Comment