Sebulan pasca wisuda, Rei diterima di sebuah perusahaan BUMN di Jakarta. Sementara Lea belum memasukkan lamaran pekerjaan ke manapun. Ia fokus mempersiapkan berkas dan persiapan untuk pendaftaran pengajar muda. Ia memberanikan diri mendaftar bersama puluhan ribu kandidat fresh graduate untuk mengajar di pelosok. Tahap demi tahap dilaluinya dengan hati yang lebih tenang meskipun kadang ia juga merasa insecure dengan para pesaingnya yang memiliki profil lebih menarik dan pengalaman yang sangat.banyak. Lolos atau tidaknya nanti adalah hasil yang terbaik, sementara ia telah berusaha sebaik-baiknya.
Di hari pengumuman, Lea merasa deg-degan. Ia buka email perlahan. Betapa terkejutnya ia mendapatkan email ucapan selamat bahwa ia dinyatakan lolos dan harap mempersiapkan diri untuk pembekalan dan keberangkatan. Ia menangis terharu penuh syukur karena Tuhan mengabulkan impiannya tersebut. Ibu dan ayahnya pun ikut senang. Mereka mengadakan tasyakuran sebelum Lea meninggalkan rumah selama setahun untuk memulai petualangan barunya di Indonesia bagian selatan. Ia mendapatkan penempatan ke sebuah desa di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur.
“Selamat ya Le,” ucap Rei di ujung telepon.
“Alhamdulillah, selamat juga ya Rei. Wah sayang banget kamu nggak datang ke acara tasyakuran. Padahal bisa sekalian bareng-bareng tasyakurannya”
“Iya nih. Aku harus segera mempersiapkan untuk training. Pas banget barengan waktunya. Ntar kapan-kapan aku yang traktir deh.”
“Tahun depan dong! Kan aku baru bisa pulang tahun depan,” balas Lea.
“Hmm..iya benar juga. Siap deh. Nanti aku kabari. Jaga kesehatan ya.”
“Kayaknya selama di sana aku nggak bisa sering-sering kontak ya. Belum tahu kondisi sinyal di sana kayak gimana. Beneran nih aku bakal berpetualang ke pulau yang jauh dari kota.”
“Oke. Tapi jangan minta pulang lho ya di sana. Kasihan warga di sana kalau harus ngantar kamu pulang.”
“Rei…mulai lagi nih garing deh ya jokesnya. Oh ya Rei..kita gima…”
“Rei..bantuin Mama!!”
Belum selesai Lea berkata, tetapi di ujung telepon sana suara mama Rei memanggilnya.
“Iya Ma. Eh udah dulu ya Le. Mamaku manggil nih. Semangat dan good luck ya. Bye.”
“Bye Rei…Good luck for you too”
Tak lama telepon ditutup sambil saling mendoakan untuk kesuksesan jalan yang dipilih mereka masing-masing. Namun, masih ada yang sedikit menggajal di hati Lea.
3 tahun kemudian.
Lea sudah kembali ke kampung halamannya setelah bertugas di Pulau Rote. Kini ia bekerja di salah satu penerbit besar yang kerap mengadakan event. Ia menjadi bagian dari tim marketing dan sering mobilisasi apalagi saat ada penulis yang mengadakan roadshow untuk promo buku barunya. Dulu ia pernah menangis-nangis setelah ditolak oleh penerbit tersebut, tetapi saat ini ia bersyukur diterima di sini meskipun bukan sebagai penulis. Ternyata ia memiliki keterampilan yang lebih baik di dalam bidang marketing.
“Lho Bu, ini ada undangan nikah Reinald dan Sofia. Ini si Rei temen aku?” tanya Lea dengan wajah bingung. Semenjak ia pergi ke Pulau Rote dan bekerja di penerbit, ia sudah jarang sekali bertukar kabar dengan Rei. Terakhir kali ia mendapat kabar bahwa Rei dipromosikan naik jabatan karena kinerjanya yang bagus dan disiplin.
“Oh iya. Mamanya Rei kemarin kirim undangan ini. Katanya sekalian juga buat kamu. Tuh ada 2 kan undangannya.”
“Kok Rei nggak pernah cerita?” tanya Lea.
“Sibuk mungkin. Ini aja dia masih di Jakarta. Nanti nikahannya juga di Jakarta dan di Jogja sini.”
Lea segera menelpon Rei. Namun nomor yang dituju sedang sibuk. Ia mengirimkan pesan pada Rei. Perasaannya campur aduk. Memang sih mereka hanya berteman, tetapi tanpa sengaja Rei pernah mengisi kekosongan di hati Lea saat 3 tahun yang lalu. Pesan dari Lea dibalas tengah malam.
“Maaf ya Le. Aku nggak pernah cerita karena semua memang terjadi dengan cepat. Aku harap kamu bisa datang.”
Lea tahu bahwa ia tak berhak marah. Lea paham bahwa mereka hanya teman dan tidak lebih. Keesokan harinya Lea mengambil sepatu olahraganya yang lama tak dipakai. Ia kembali lari pagi. Ia teringat dialog-dialog recehnya bersama Rei. Ia melewati jogging track favorit mereka dan beristirahat sejenak di taman dengan kolam koi. Namun ia terkejut bahwa kolam koi itu sudah tidak lagi ada. Ia merasa semakin kehilangan. Sayup-sayup ia mendengar sebuah lagu diputar dari sebuah toko bunga di depan taman. Lagu favoritnya dulu mengapa sekarang rasanya berbeda ya. Bukan lagi hangat yang menjalari tubuhnya tetapi rasa dingin yang menusuk. Ia pun masuk ke toko bunga tersebut sambil membeli beberapa bunga dandelion. Setelah itu ia melanjutkan lari paginya sambil membawa bunga dandelion. Mahkota dandelion itu terlepas satu persatu ditiup angin yang berlawanan dengan arah larinya. Indah. Ia menikmati momen tersebut sambil sesekali meniup kelopaknya. Ia mencoba berdamai dan melepaskan apa yang mengganjal di hatinya yang tak pernah terungkap. Akhirnya ia membalas pesan dari Rei semalam dengan tersenyum lega.
“Selamat ya Rei. Semoga lancar.”
Dan Lea pun akhirnya menjadikan lari pagi sebagai rutinitas paginya sebelum berangkat kerja dan di akhir pekan. Seminggu 3 kali membuatnya kini menjadi lebih sehat, segar dan bersemangat.