Saturday, 25 February 2023

Run Lea Run (Part 4)

 “Halo, selamat siang, dengan Alea Ariessa ?” 

“Iya betul, Bu,” jawab Lea dengan perasaan yang campur aduk. 


“Kami dari penerbit Bintang Pusaka menginformasikan bahwa naskah yang Anda kirimkan melalui surel minggu lalu cukup menarik. Namun sayangnya kami masih belum dapat menerimanya karena temanya tidak sesuai dengan naskah-naskah yang dicari oleh penerbit kami. Mungkin Alea bisa menyesuaikan tema dengan jenis tema dan genre yang kami cari. Bisa dicek di web dan sosial media ya. Atau bisa juga dengan mengirimkan ke penerbit lainnya yang sesuai dengan tema yang Alea tulis. Mohon maaf ya. Semoga bisa bekerja sama di lain kesempatan.”


“Iya Bu. Baik, terima kasih untuk pemberitahuannya. Selamat siang.”


Mood Lea yang sudah berantakan sejak tadi, saat ini semakin hancur. Ia biarkan air mata mengalir di pipinya. Susah payah ia menyelesaikan naskah novel itu setelah ia menyelesaikan skripsinya. Mungkin belum rezekinya diterbitkan oleh penerbit mayor. Entah kenapa rasa sakit perutnya tiba-tiba menghilang, tetapi berganti dengan rasa sakit di dadanya. Ia sudah berjanji untuk tidak menangis dan terlalu sedih jika naskahnya tidak lolos. Namun namanya penolakan seperti apapun itu, akan tetap terasa menyakitkan. Apalagi setelah berusaha menyelesaikan naskah yang tidak sebentar prosesnya. Tiba-tiba ia ingin tidur siang saja dan mematikan ponselnya. 


Dalam tidur gelisahnya, Lea bermimpi tentang tempat dan kejadian di sekolah SMA nya. Ia berangkat ke sekolah dengan tergesa-gesa di pagi hari. Sesampainya di kelas, tak ada seorang pun teman sekelasnyayang hadir. Demikian juga gurunya. Ia bertanya ke orang-orang yang lewat di depan kelasnya, mereka bilang bahwa murid-murid kelas tersebut pindah ruangan. Namun tak ada yang mengabari Lea. Ia merasa ditinggal dan tak dianggap. Ia menangis tersedu-sedu. Rasanya ia ingin kembali pulang ke rumah saja dan mengunci diri di kamarnya. 


“Lea! Makan dulu! Sudah siang,” teriak ibunya dari luar kamar. Diketuknya pintu kamar Lea, ternyata terkunci. Suara ketukan di pintu kamarnya membangunkannya dari mimpinya yang menyedihkan. Ia membuka pintu kamarnya. Ibunya terkejut melihat Lea yang kusut dan matanya sembab. Ternyata ia benar-benar menangis tersedu dalam posisi tidurnya. Namun, sang ibu memilih diam dan hanya memeluknya. Ia paham bahwa saat sedih, putrinya itu tak mau diberi pertanyaan yang justru membuatnya kesal. Cukup pelukan saja dari orang terkasih mampu meredakan gelisahnya. 



No comments:

Post a Comment