Saturday, 8 April 2023
Serunya Mengikuti Kelas Doodle Art
Tuesday, 4 April 2023
Kado Terindah itu Kamu
Bagaimana bisa aku lupa pada tanggal di mana sebuah momen paling nano-nano dalam hidupku? Hari yang dinanti-nantikan karena akan adanya anggota keluarga baru. Hari di mana aku terlahir menjadi seorang ibu, suamiku menjadi seorang ayah, orang tuaku menjadi kakek dan nenek, adik-adikku menjadi om dan tante. Setelah penantian hampir 1,5 tahun setelah menikah, sembuh dari vaginismus, aku pun hamil, dan setelah 41 minggu (lebih lama 1 minggu dari HPL) bayi imut yang kami beri nama Azkiya Shakila Farzana ini lahir. Azkiya berarti orang yang shalihah, Shakila anak yang cantik, dan Farzana anak yang cerdas. Doa kami terangkai dalam nama yang kami sematkan. Dan setelah 3 tahun kau lahir, aku baru memiliki keberanian dan kekuatan untuk menuliskannya meski tetap saja aku menangis. Aku tak bisa merangkai foto dan video, jadi aku ingin mengabadikannya dalam bentuk kata-kata. Suatu hari saat Azkiya bisa membaca aku ingin ia mengerti bahwa ada banyak perjuangan yang kami tempuh untuk bertemu.
Hari Sabtu, di tanggal yang katanya cantik itu, (04-04-2020) bagaikan keajaiban bagiku. Sejak sehari sebelumnya, perutku sudah mules-mules dan keluar cairan berwarna putih. Aku yang mudah panik ini mencoba untuk tenang. Teori yang kupelajari saat yoga dan hypnobirthing selama masa kehamilan berusaha kuterapkan, namun rasa sakitnya di pinggang belakang membuatku kelelahan hingga tak bisa tidur di malam harinya. Sebentar-sebentar terbangun dan rasa sakitnya semakin intens dan berdurasi beberapa menit. Sabtu pagi yang mendebarkan itu setelah salat subuh, aku hanya bisa memakan pisang dengan perasaan tak karuan. Tak lama kemudian aku dan suamiku berangkat ke RS ibu dan anak yang dekat dengan rumah sambil membawa perlengkapan melahirkan. Sesampainya di sana, kami diarahkan ke ruang bersalin. Hatiku semakin tak karuan saat berbaring di ruang bersalin, stres pun datang saat bidan melakukan VT untuk mengecek bukaan. Otomatis aku merasa kesakitan dan mereka tampaknya agak jengkel denganku yang dianggap tidak mau bekerja sama. Katanya belum ada bukaan dan belum ada kontraksi. Beruntung saat itu dokter yang menanganiku, dr Maya sedang jaga dan beliau ingat bahwa aku memiliki riwayat vaginismus. Tak lama setelah itu beliau segera menyarankan untuk melakukan SC di jam 12 siang. Rasanya cukup sedih karena selama berbulan-bulan aku berusaha agar bisa melahirkan pervaginam, namun ternyata tubuhku tidak sanggup melakukannya.
Akhirnya kami bersiap untuk menjalani operasi dengan puasa, Infus sudah terpasang dengan diberi cairan yang membuat rasa sakit di punggungku semakin menjadi-jadi. Ya nangis, ya berdoa, yang berusaha tenang tapi tak bisa. Entah aku tak bisa mendefiniskannya. Akhirnya setelah azan dhuhur aku masuk ke ruang operasi. Kulihat suamiku juga sama cemasnya dan menunggu di luar.
Di ruang operasi rasanya dingin menjalari tubuhku. Kemudian kateter dipasang dan punggungku disuntik bius separuh badan. Seluruh kakiku mati rasa namun bagian tubuh atas masih terasa dan sadar. Detik demi detik terasa lambat. Sepanjang proses operasi kurapalkan doa dan sholawat dalam hati. Deg-degan membayangkan bagaimana prosesnya. Namun para dokter dan perawat tampak santai dalam mengerjakan tugasnya, ya kan sudah menjadi pekerjaannya sehari-hari. Hidungku juga mulai dipasang selang untuk tabung oksigen. Rasa tegangku pecah setelah mendengar tangisan bayiku pertama kalinya tepat pada jam 12.30. Masya Allah...air mataku mengalir tak tertahankan ketika perawat mendekatkannya ke wajahku. That's unbelievable and unforgettable moment in my life. Setelah itu mereka membawa bayiku ke ruang bayi untuk dibersihkan dan dicek. Sementara dokter dan perawat lainnya melanjutkan proses SC hingga selesai.
Alhamdulillah. Rasanya plong setelah proses berakhir. Kuucapkan terima kasih banyak kepada dr.Maya yang sangat sabar dan cekatan. Perawat meletakkan bayiku di dadaku dan suamiku melafazkan azan di telinganya serta kudoakan dengan doa untuk bayi baru lahir. Aku belum paham seharusnya aku segera melakukan IMD namun kata perawat bayinya kan mencari sendiri. Tapi saat itu si bayi sedang asyik molor melanjutkan tidurnya di dunia yang baru baginya. Tak lama kemudian aku dimasukkan ruangan transit sambil menunggu kamar siap. Perasaanku masih nano-nano tapi kini sudah lebih tenang karena mengetahui anakku lahir dengan selamat dan sehat.
Setelah aku pindah ke kamar RS, aku mendapat kabar bahwa anakku tidak bisa dirawat gabung. Ia harus dirawat di ruang perina karena leukositnya lebih tinggi dari batas normalnya. Itu terjadi karena bayi meminum cairan ketuban yang sudah keruh karena sudah postdate. Alhasil harus disuntikkan antibiotik untuk menormalkan kembali dan menjalani cek up berkala. Aku menangis membayangkannya sementara asiku hanya keluar setetes demi setetes. Perawat meyakinkanku bahwa itu normal dan tidak mengapa untuk menyetorkannya dalam pipet. Pompaku hanya pompa manual yang dengan bodohnya hanya kubilas dengan air panas, padahal harusnya disterilkan dengan direbus. Saat bayiku menangis, perawat menginfokan lewat interkom untuk mengirim ASI yang berupa kolostrum itu ke ruang perina. Hari itu pasca melahirkan, aku belum bisa bergerak banyak.
Baru keesokan harinya aku bisa berjalan pelan-pelan. Aku mengunjungi bayiku di ruang perina sambil belajar menggendong dan menyusui. Itu bukanlah hal yang mudah. Sulit sekali bagiku dan bagi bayiku, namun kami berusaha dan pertama kalinya ia menyusu, perasaan haru itu datang. Air mataku mengalir deras. Terharu sekali. Rasanya juga sedih melihat kaki bayiku dipasang papan untuk memasukkan antibiotik. Aku juga seedih melihat bayi-bayi yang lainnya. Ada yang kuning, prematur, dan lain-lain. Semua bayi berjuang dengan perjuangan awalnya masing-masing.
Keesokan harinya aku sudah boleh pulang. Namun ternyata bayiku belum boleh pulang. Masih ada 1 hari untuk observasi. Aku pun menangis lagi. Galau apakah aku bisa menambah sehari lagi atau harus pulang. Ternyata jika menambah sehari lagi harus membayar sendiri dan tidak tercover BPJS. Alhamdulillah untuk biaya kelahiran, perawatan bayi dan opname dicover oleh BPJS sehingga aku tidak mengeluarkan biaya apapun. Akhirnya kami putuskan untuk pulang dengan tugas mengantar ASI ke perina. Aku pun pulang dengan perasaan hampa. Aku tidur di kamar yang sebelumnya tidak dipakai namun sudah dibersihkan. Aku masih sempat harus mengoreksi UAS kelas 12 padahal aku sudah resign karena aku memang belum selesai untuk melakukan penilaian. Saat itu aku juga menyewa pompa elektrik yang ternyata lebih efektif. Suamiku mengantarkan asi sementara aku masih nangis sampai malamnya aku jadi mimpi buruk. Postpartum depresion itu nyata.
Esoknya aku menjemput bayiku dengan tak sabar. Alhamdulillah kata perawat, kondisinya sudah membaik dan harus kontrol lagi beberapa hari kemudian untuk memastikan kondisinya. Aku juga mendapat konseling tentang laktasi dengan sangat jelas. Kemudian kata perawat sebaiknya tidak menaruh kapur barus di lemari bayi. Sesampainya di rumah, segera kami bongkar lemari dan mengeluarkan kapur barus beserta isinya. Suamiku mencuci semua baju-baju bayi yang sudah kucuci dan kusetrika rapi itu. Nelongso! Akhirnya Kiya dipakaikan baju bayi yang dibeli dadakan di toko pasar Bareng padahal itu juga kan lama di etalase toko. Hahaha ada aja dramanya. Ya pokoknya yang terpenting bayiku sudah ada di dekatku dan membuat hatiku tenang. Alhamdulillah. Sampai beberapa tahun kemudian jika mengingat kisah ini, aku akan menangis lagi, dan sekarang baru aku beranikan untuk menuliskannya walau masih berderai air mata.
Alhamdulillah lagi sekarang ia telah tumbuh menjadi anak umur 3 tahun yang ceriwis, aktif, cantik, cerdas, dan memiliki empati. Dia sahabatku yang selalu menemaniku dalam suka maupun duka, yang selalu mengikutiku ke mana pun pergi dan menghiburku, membuat hari-hari terasa lengkap meskipun banyak pengorbanan dan perubahan. Terima kasih sayang, doa kami selalu mengiringi tumbuh kembangmu, semoga Allah selalu melindungi, menjagamu, dan memberikan karunia dan kesehatan.
Aamiin. Happy Birthday